Aku belum pernah membayangkan kehidupan pernikahanku akan seperti apa.
Aku tidak pernah memimpikan keluarga idaman dimana aku berperan menjadi seorang istri sekaligus ibu di dalamnya.
Aku tidak pernah memimpikan keluarga idaman dimana aku berperan menjadi seorang istri sekaligus ibu di dalamnya.
Belum pernah benar-benar.
Sederhananya, aku hanya bercermin dari keluarga tempatku tumbuh dan dibesarkan. Bukan keluarga cacat, tapi juga tidak bisa dibilang sempurna. Kami utuh jika dilihat dari unsur. Hanya saja, aku merasa ada beberapa hal yang tidak terlalu ideal. Yah, bagaimanapun aku sudah menerimanya.
Ayah yang menurutku sedikit cuek (atau malu dan gengsi untuk berekspresi?), tapi adikku bilang akulah yang paling dekat dengan Ayah. Sedangkan Ibu yang ceriwis dan disukai teman-temanku nyatanya seringkali berselisih pendapat denganku. Anak pertama yang keras dan galak, panutan sekaligus beban bagi adik-adiknya. Dan segala kontras tiap anggotanya.
Bagaimana aku memandang keluarga ini menjadi suatu proses tersendiri di luar prosesku mengenali diri sendiri. Perjalanan panjang untuk memahami dinamika hubungan manusia yang kompleks ini. Yang hingga detik ini pun aku masih belajar dan terus mengamati dari apa yang terjadi di sekitarku.
Tidak ada buku panduan bagaimana menjadi seorang istri kemudian ibu, begitu juga langkah-langkah menjadi suami dan ayah. Semua terjadi begitu saja, learning by doing. Tidak ada patokan dan pedoman khusus. Jika bisa kusebut, mungkin pengalaman dan proses pembelajaran diri (kematangan diri) ditambah insting manusia untuk mengasihi sesamanya (termasuk berkembang biak) itulah yang menjadi pedoman bagaimana seorang istri/ibu dan suami/ayah melakukan tugasnya.
Bukan tugasku menyalahkan atau mengoreksi orang lain. Tugasku hanya mengoreksi diri sendiri, terus memperbaiki diri. Tulisan berantakan ini tidak bermaksud menceramahi siapapun, selain pengingat bagi diri, juga penanda bahwa aku pernah berpikir begini.
Poinnya, aku hanya bingung bagaimana harus bersikap sebagai seorang istri baru yang instingnya masih belum berkembang. Aku belajar, dari buku dan pengamatan orang-orang sekitarku. Belajar menyadang status baru sebagai: seorang menantu, kakak yang sudah mernikah, anak pertama yang sudah menikah, pegawai yang sudah menikah, seorang teman/sahabat yang sudah menikah, bahkan seorang Aku yang sudah menikah. Yang terakhir ini sering kali membuat pikiran dan peraasanku seperti diaduk-aduk, antara aku sebagai seorang individu dan aku sebagai pasangan bagi suamiku.
Tapi, sejauh ini aku bangga dengan diriku. Aku sudah menjalankan banyak peran di tahun 2022. Jika kembali ke tahun 2021, tahun terberatku yang terjangkit toxic productivity (hahaha), aku lebih banyak terjun dan mempelajari hal baru. Sebagai seorang pekerja, seorang istri, juga seorang anak. Tidak mudah, tapi aku tetap bangga.
Aku merayakannya dengan sepiring penuh gado-gado Moerni 78 di Jl. Tukangan tadi pagi. Juga mampir mengetik ini di Cangkir Bumi Janturan, ditemani segelas Ginger Tea yang sudah dingin. Mungkin aku akan menambah beberapa jajanan manis untuk kunikmati bersama adik-adikku nanti malam.
Di titik ini, di penghujung 2022, aku merasa sangat bersyukur dengan semua yang terjadi padaku, juga semua keputusan yang telah kubuat. Tidak ada lagi penyesalan, selain rasa syukur dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Terimakasih untuk suami tersayang, adik-adik, orang tua, dan teman-teman bergantian menjadi pendukung dan pengingat hamba.
Janturan, 13-12-2022
Comments
Post a Comment