KEBUDAYAAN DAERAH DALAM REMPAH: PASANG-SURUT LADA DI BANTEN DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA

(Tulisan mengenai Pemajuan Kebudayaan oleh Sarah Ayu Rahmaningrum) *

Pusat kebudayaan berada di lingkaran universitas, itu menurut Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1979. Namun, pernyataan tersebut kurang relevan saat ini. Universitas hanyalah sekelompok kecil orang yang berkesempatan memperoleh pendidikan tingkat tinggi, dan terkadang berjarak dengan masyarakat. Sedangkan kebudayaan ada dalam setiap napas kehidupan masyarakat. Maka, pusat kebudayaan hakikatnya berada di tangan masyarakat itu sendiri.

Masyarakat adalah pemilik dan penggerak kebudayaan. Tidak bisa tidak, perkembangan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyatakan bahwa masyarakat berperan sebagai pelaku aktif kebudayaan, baik tingkat komunitas maupun industri. Selain itu, masyarakat dipandang sebagai pihak yang paling dekat, paling akrab dan paling paham mengenai kebutuhan dan tantangan untuk memajukan ekosistem kebudayaan.

Gagasan mengenai pemajuan kebudayaan bukan hal baru, melainkan sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pemerintah baru berhasil mengesahkan UU No. 5 Tahun 2017 sebagai penegasan dan landasan strategis kebudayaan Indonesia di tengah masyarakat global. Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid, pemajuan kebudayaan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.

Hendaknya kita, masyarakat Indonesia, menyadari bahwa kebudayaan adalah persoalan kesatuan duniat, kesatuan umat manusia. Pengajuan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia merupakan bagian dari upaya menguatkan dan memajukan budaya Indonesia di kancah global. Rempah-rempah Nusantara, selain sebagai komoditas, juga menjadi penyebab dan pendorong terjadinya pertukaran budaya, agama, ekonomi bahkan politik. Jalur Rempah juga menjadi jalur niaga global sekitar abad ke-16 hingga abad ke-18, dan Banten termasuk salah satu titik perdagangan yang ramai. 

 

Lada di Banten

Lada (unsplash.com)

Banten merupakan suatu daerah di ujung barat pulau Jawa, yang berdekatan dengan pulau Sumatera, hanya dipisahkan oleh Selat Sunda. Banten merupakan bagian dari wilayah kepulauan Nusantara, yang berabad-abad lalu dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Menurut catatan sejarah, pada akhir abad ke-16, Pelabuhan Banten menjadi tempat pendaratan pelayaran bangsa Belanda. Yang antara lain dipimpin oleh Cornelis de Houtman, menyusul beberapa tahun kemudian pelayaran yang dipimpin Jacob Van Meck.

Pelayaran ke wilayah Nusantara didorong oleh beberapa tujuan. Selain untuk menyebarkan agama, pelayaran bangsa Belanda ke daerah Nusantara juga didorong keinginan eksplorasi dalam rangka mencari sumber rempah-rempah. Pada masa itu, rempah-rempah sangat dibutuhkan oleh negara yang memiliki empat cuaca. Terutama sebagai penghangat tubuh di musim dingin, sebagai bumbu penyedap dan campuran bahan makanan, bahkan obat-obatan. Pasalnya, di negara dengan empat cuaca, rempah-rempah tidak tumbuh, dan harus diperoleh dengan harga mahal. Hal tersebut mendorong bangsa Eropa melakukan ekspedisi dan eksplorai untuk mencari tanah yang menghasilkan rempah-rempah.

Salah satu rempah yang menjadi komoditas dari Nusantara ialah lada, yang juga dijuluki “raja rempah” karena tingkat konsumsinya paling tinggi. Sedangkan, Banten terkenal sebagai daerah penghasil lada sejak akhir abad ke-12. Selain diperdagangkan kepada pedagang dari Arab, India, dan Eropa, lada juga memiliki fungsi lain, misalnya sebagai alat diplomasi. Menurut arsip yang ditemukan, Sultan Abul Fath pernah mengirimkan lada hitam kepada Raja Inggris Charles II pada tahun 1664. Sebagai imbalannya, Sultan Abul Fath meminta agar Inggris bersedia menjual meriam dan senapan kepada Banten.

Lada tidak hanya tumbuh di tanah Banten. Daerah Sumatera seperti Aceh juga memproduksi lada, hanya saja kualitasnya tidak lebih unggul dibandingkan lada dari Banten. Melihat potensi dan keuntungan niaga yang besar pada komoditas lada, Sultan Ageng Tirtayasa menggalakkan penanaman lada di Lampung pada abad ke-17. Produksi lada memang meningkat dengan harga menggiurkan, namun terjadi kekurangan bahan pangan karena para petani jadi mengesampingkan penanaman padi. Kemudian lahan penanaman lada di Banten dikurangi untuk dialihkan menanam padi.

Sekitar akhir abad ke-17 hingga abad ke-18, produksi lada di Banten kian menurun. Masa kejayaan lada di Banten sudah berakhir. Pada tahun 2019, Banten hanya mampu memproduksi sekitar 320 ton (Badan Pusat Statistik Provinsi Banten 2019). Sedangkan dalam catatan produksi lada nasional tahun 2015, produktivitas lada Indonesia hanya sekitar 663,79 kilogram (kg) per hektar (ha). Yang mana jauh lebih rendah dari produktivitas lada beberapa negara lain. Contohnya, produktivitas lada Vietnam mencapai 2.280 kg per ha, Brasil 2.075 kg per ha, Malaysia 1.380 per ha, dan Sri Lanka 838 kg per ha. Hal ini sangat disayangkan karena luas kebun lada Indonesia mencapai 116.000 ha (pada 2015), yang sebenarnya menduduki posisi luas kebun lada kedua di dunia setelah India (200.000 ha). Sedangkan Vietnam hanya memiliki 57.000 ha dengan tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi.

Penurunan tingkat produktivitas lada di Indonesia, dan di Banten khususnya, dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: politik, sosial, dan pertanian. Sebelum Perang Dunia II, Indonesia dapat menyediakan hingga 80 persen kubutuhan lada dunia. Namun, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Indonesia hanya mampu memenuhi 23 persen kebutuhan dunia akan lada. Menurut sejumlah peneliti, salah satu penyebabnya ialah suatu penyakit yang menyerang tanaman lada, yang disebut serangan busuk pangkal batang atau BPB. BPB menyebabkan banyak tanaman lada mati, bahkan hasil produksi bisa berkurang hingga 20-30 persen.

 

Sadar dan Berbenah

Pelabuhan Merak (unsplash.com)

Selain kesadaran akan kejayaan masa lalu, penting untuk mempelajari dan membenahi permasalahan kebudayaan yang sedang dihadapi tiap-tiap daerah. Tiap daerah tentu menghadapi permasalahan kebudayaan berbeda-beda. Salah satunya, Banten mengalami permasalahan produksi lada yang kian menurun, padahal permintaan lada tingkat nasional dan internasional selalu tinggi. Maka, sebaiknya dilakukan perbaikan pada metode penanaman agar dapat mendongkrak produksi lada dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

        Zaman memang berubah, namun bukan berarti menurunnya produktivitas lada tidak perlu diperhatikan. Sebab lada termasuk dalam rempah-rempah yang merupakan warisan budaya bangsa perlu dilestarikan. Budaya pada hakikatnya memiliki arti sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan, tidak hanya sekedar adat-tradisi dan kesenian. Oleh karena itu, budaya atau kebudayaan selayaknya ditempatkan sebagai garda terdepan dalam menjaga keharmonisan kehidupan berbangsa.

        Indonesia yang kaya akan kebudayaannya sudah seharusnya menjadikan kebudayaan sebagai tujuan dari seluruh sektor pembangunan, tidak hanya dipandang sebagai salah satu sektor pembangunan. Lebih lanjut, pemajuan kebudayaan nasional semestinya tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat Indonesia, melainkan seharusnya menambah persatuan dan kesatuan, kerukunan, ketahanan, serta kesejahteraan masyarakatnya.

Jika dilihat lebih jeli, rempah-rempah sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang lebih luas dari sekedar sektor pertanian. Sebabnya ialah karena rempah memiliki berbagai manfaat, dari bidang pengobatan, kuliner, kesenian, pariwisata, dan produk budaya lainnya. Selain diperdagangkan dalam bentuk fisik dan mentahan, rempah-rempah akan memiliki nilai lebih ketika diolah. Misalnya ketika digunakan dalam makanan khas suatu daerah yang ikonik dan diolah menjadi paket wisata kuliner daerah, dijadikan jamu atau olahan herbal dan dijadikan souvenir atau oleh-oleh khas daerah, atau dikemas dalam paket wisata lengkap yang meliputi wisata gastronomi. Yang terakhir ini sekaligus menyebarkan pengetahuan dan kesadaran kebudayaan karena menyajikan pengalaman, sejarah dan budaya di balik kehadiran suatu menu makanan.

Pada akhirnya, urusan pemajuan kebudayaan bukan hanya menjadi tanggung jawab salah satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama. Para pengambil kebijakan diharapkan dapat membantu merealisasikan aspirasi masyarakat. Sedangkan komunitas menjadi media penyambung antara masyarakat dengan pemerintah. Di sisi lain, universitas atau kelompok terdidik bertanggungjawab mendukung terlaksananya pemajuan kebudayaan dengan keilmuan yang dimilikinya.

 

Daftar Pustaka:

Prisma, 2 Februari 1979 Tahun VIII, Dialog Kiblat Kita: Lokal, Nasional, atau Kosmopolitan?, hlm 50-58.

Rahman, Fadly. “Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah”. Patanjala Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 11, No. 3, September 2019: 347-361.

Turner, Jack. 2019. Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme. Depok: Komunitas Bambu.

 

Sumber internet:

http://pemajuankebudayaan.id/undang-undang/

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200918/12/1293663/wisata-gastronomi-bisa-genjot-pendapatan-sektor-pariwisata?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_1

https://jalurrempah.kompas.id/  

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/cengkeh-anambas-dalam-sejarah-rempah-indonesia/

https://kominfo.go.id/content/detail/13886/strategi-pemajuan-kebudayaan-jadi-modal-pembangunan-nasional/0/artikel_gpr

https://papua.bisnis.com/read/20200921/414/1294298/jalur-rempah-identitas-indonesia-yang-terlupakan

https://paralegal.id/pengertian/pemajuan-kebudayaan/

https://travel.kompas.com/read/2020/09/28/080800327/wisata-kebugaran-berbasis-rempah-apa-itu?page=all#page2https://banten.bps.go.id/indicator/54/229/1/produksi-komoditas-perkebunan-menurut-jenis-tanaman.html

https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/19/180018569/peran-indonesia-sebagai-jalur-rempah-sejak-masa-prakolonial.

 


*Tulisan ini ditulis bulan Juni 2021

Comments