Lampu Lalu Lintas (Flash Fiction 2016*)

            


            Tak bisa berhenti menangis. Bayang-bayang Uup tak lekas pergi dari pikiranku. Giginya yang putih, dan betapa ia tersenyum malu tatkala aku memujinya. Wajah polosnya yang antusias mengerjakan soal perkalian yang kubuat, setelah kudengar ia duduk di bangku kelas 6 SD. Kubalas lambaian tangannya, dari dalam mobil yang kami naiki. Aku terdiam sepanjang perjalanan pulang.

            Kami? Ya, bukan hanya aku. Minggu siang itu, aku dan dua puluh lima temanku baru kembali dari sebuah Panti Asuhan Baitu Rahim. Aku duduk tepat di bangku paling ujung, di mobil Carry milik ayah seorang temanku. Siang itu kami semua sangat lelah dan lapar, dan berencana untuk makan di sebuah restoran lesehan. Sepanjang perjalanan, aku menghadap ke belakang, tidak ikut bercanda ria dengan teman-teman yang lain.

Aku merasa kosong. Memang sehari sebelumnya aku sedang tidak enak badan, tapi kurasa aku sudah merasa lebih baik pagi itu. Jalanan becek yang kami lewati, mengalihkan perhatianku. Aku membayangkan puluhan anak panti itu berjalan beriringan untuk pergi ke sekolah, melewati jalan becek ini. Ah mereka sungguh kuat. Jarak panti itu ke sekolah mereka kira-kira tujuh kilometer. Andai kata ketika mereka akan pergi ke atau kembali dari sekolah hujan turun begitu derasnya, bagaimana mereka melalui jalan becek itu? Aku yakin tidak semua anak panti memiliki payung. Aku terus memikirkan hal-hal lain tentang mereka.

Lalu lintas kota menyibukkan mataku, pikiranku teralihkan. Seorang ibu hampir jatuh bersama motornya, lantaran mobil di depannya tiba-tiba berbelok ke kanan. Aku teringat ibuku, yang terlihat kaku saat mengendarai motor, persis ibu yang hampir jatuh tadi. Lampu merah yang jarang dihargai, aku prihatin. Apalagi sekarang banyak orang yang buta warna, mereka tak bisa membedakan warna merah dan hijau.

Melihat lampu lalu lintas, aku teringat seorang pengemis yang tempo hari kulihat di lampu merah dekat rumahku. Sore itu, aku berhenti, menunggui lampu berganti menjadi hijau. Aku berada di barisan terdepan, di sebelah kanan, dekat pembatas jalan. Sekitar satu meter di depanku, seorang pengemis dengan pakaian compang-campingnya, buru-buru menaruh rokok yang baru dihisapnya, di sela-sela tanaman pot di pembatas jalan itu. Ia mengambil mangkuk kecilnya, dan memasang tampang memelasnya, berjalan ke setiap keandaraan yang berhenti di lampu merah itu, mengulurkan tangannya, meminta belas kasihan. 

Saat itu ada uang di saku jaketku, tapi aku langsung tak bersimpati begitu melihat ia memegang rokok tadi. Baru kali ini aku melihat pengemis yang berkelebihan uang makan, hingga sanggup membeli rokok. Atau mungkin rokok itu hasil mengemis? Ah sudahlah, aku sudah tidak simpati lagi. Aku menggeleng saat pengemis itu mengulurkan tangannya ke arahku.

“Eka, adik yang tadi, sepertinya menyukai Eka,” kata Nanda pelan, sambil menyikut lengan kiri Eka.

Kami baru menerima pesanan kami di lesehan itu. Aku masih diam, hanya tersenyum menghargai lawakan Aji dan kawan-kawannya, sementara yang lain tertawa terbahak-bahak.

“Nis, kamu kenapa?” Dhena yang duduk di samping kananku menoleh. “Masih pusing?” lanjutnya.

“Enggak, kok. Enggak apa-apa. Laper aja dari tadi, hemat energi. Hehehe,” aku nyengir. “Yuk, makan,” aku meraih sambal di depan Dhena. Dhena tidak suka dan tidak kuat pedas. Muka khawatirnya pun lenyap bersama gigitan ayam bakarnya yang pertama. Ia tidak meneruskan pertanyaannya.

 

 

*terpendam di Ms. Word ratusan tahun. enggak deng wkwk. diketik 28 Februari 2016 hahahaha lama banget tapi terharu sendiri bacanya.

Comments