Tak bisa berhenti menangis.
Bayang-bayang Uup tak lekas pergi dari pikiranku. Giginya yang putih, dan
betapa ia tersenyum malu tatkala aku memujinya. Wajah polosnya yang antusias
mengerjakan soal perkalian yang kubuat, setelah kudengar ia duduk di bangku
kelas 6 SD. Kubalas lambaian tangannya, dari dalam mobil yang kami naiki. Aku
terdiam sepanjang perjalanan pulang.
Kami? Ya, bukan hanya aku. Minggu siang
itu, aku dan dua puluh lima temanku baru kembali dari sebuah Panti Asuhan Baitu
Rahim. Aku duduk tepat di bangku paling ujung, di mobil Carry milik
ayah seorang temanku. Siang itu kami semua sangat lelah dan lapar, dan
berencana untuk makan di sebuah restoran lesehan. Sepanjang perjalanan, aku
menghadap ke belakang, tidak ikut bercanda ria dengan teman-teman yang lain.
Aku merasa kosong. Memang sehari sebelumnya aku sedang tidak enak
badan, tapi kurasa aku sudah merasa lebih baik pagi itu. Jalanan becek yang
kami lewati, mengalihkan perhatianku. Aku membayangkan puluhan anak panti itu
berjalan beriringan untuk pergi ke sekolah, melewati jalan becek ini. Ah mereka
sungguh kuat. Jarak panti itu ke sekolah mereka kira-kira tujuh kilometer.
Andai kata ketika mereka akan pergi ke atau kembali dari sekolah hujan turun
begitu derasnya, bagaimana mereka melalui jalan becek itu? Aku yakin tidak
semua anak panti memiliki payung. Aku terus memikirkan hal-hal lain tentang
mereka.
Lalu lintas kota menyibukkan mataku, pikiranku teralihkan. Seorang
ibu hampir jatuh bersama motornya, lantaran mobil di depannya tiba-tiba
berbelok ke kanan. Aku teringat ibuku, yang terlihat kaku saat mengendarai
motor, persis ibu yang hampir jatuh tadi. Lampu merah yang jarang dihargai, aku
prihatin. Apalagi sekarang banyak orang yang buta warna, mereka tak bisa
membedakan warna merah dan hijau.
Melihat lampu lalu lintas, aku teringat seorang pengemis yang tempo hari kulihat di lampu merah dekat rumahku. Sore itu, aku berhenti, menunggui lampu berganti menjadi hijau. Aku berada di barisan terdepan, di sebelah kanan, dekat pembatas jalan. Sekitar satu meter di depanku, seorang pengemis dengan pakaian compang-campingnya, buru-buru menaruh rokok yang baru dihisapnya, di sela-sela tanaman pot di pembatas jalan itu. Ia mengambil mangkuk kecilnya, dan memasang tampang memelasnya, berjalan ke setiap keandaraan yang berhenti di lampu merah itu, mengulurkan tangannya, meminta belas kasihan.
Saat itu ada
uang di saku jaketku, tapi aku langsung tak bersimpati begitu melihat ia
memegang rokok tadi. Baru kali ini aku melihat pengemis yang berkelebihan uang
makan, hingga sanggup membeli rokok. Atau mungkin rokok itu hasil mengemis? Ah
sudahlah, aku sudah tidak simpati lagi. Aku menggeleng saat pengemis itu
mengulurkan tangannya ke arahku.
“Eka, adik yang tadi, sepertinya menyukai Eka,” kata Nanda pelan, sambil
menyikut lengan kiri Eka.
Kami baru menerima pesanan kami di lesehan itu. Aku masih diam,
hanya tersenyum menghargai lawakan Aji dan kawan-kawannya, sementara yang lain
tertawa terbahak-bahak.
“Nis, kamu kenapa?” Dhena yang duduk di samping kananku menoleh.
“Masih pusing?” lanjutnya.
“Enggak, kok. Enggak apa-apa. Laper aja dari tadi, hemat energi.
Hehehe,” aku nyengir. “Yuk, makan,” aku meraih sambal di depan Dhena. Dhena
tidak suka dan tidak kuat pedas. Muka khawatirnya pun lenyap bersama gigitan ayam
bakarnya yang pertama. Ia tidak meneruskan pertanyaannya.
*terpendam di Ms. Word ratusan tahun. enggak deng wkwk. diketik 28 Februari 2016 hahahaha lama banget tapi terharu sendiri bacanya.
Comments
Post a Comment