Fast Fashion dan Permasalahan Lingkungan (2019*)

 Pakaian, Industri Fesyen dan Lingkungan

Industri pakaian (unplash.com)

Asal Mula Pakaian

            Pakaian pada mulanya berfungsi sebagai penutup dan pelindung badan dari cuaca dan gigitan serangga. Manusia masa lalu menggunakan bahan alami dan sederhana dari bulu dan kulit hewan, daun, atau rumput yang diikat. Berbeda dengan manusia sekarang yang menggunakan potongan kain terjahit benang.

            Zaman berubah, pengetahuan berkembang, kebutuhan bertambah. Seiring perkembangan peradaban manusia, pakaian masa kini memiliki fungsi yang lebih kompleks. Pakaian menjadi penanda status sosial, memberi identitas etnis dan agama, serta menjadi gaya hidup.

            Dahulu, sebagai pelindung tubuh, manusia membuat pakaian sendiri menyesuaikan musim dengan bahan baku dari alam. Tiap orang setidaknya mampu membuat pakaian untuk diri sendiri atau keluarganya.

            Ribuan tahun kemudian menusia menciptakan alat pemintal dan penenun untuk mengubah ebnang menjadi kain. Hingga sebelum terjadi Revolusi Industri di Inggris, pembuatan garmen hanya dikerjakan di rumah-rumah, belum ada pabrik besar, sehingga para pekerjanya disebut pengrajin.

            Kini tiap orang tidak lagi perlu terampil membuat pakaian, ia bisa membeli pakaian dengan berbagai model dan merk. Berkat penemuan mesin-mesin di Eropa awal abad ke-19, tatanan perekonomian berubah. Barang-barang diproduksi dalam skala besar hingga menciptakan industri tekstil dan pakaian jadi.

            Awal abad ke-20, mulai didirikan department store yang menjual produk fesyen dari berbagai produsen. Pakaian model baru banyak bermunculan, setidaknya model tersebut dapat bertahan hingga setahun atau lebih.

            Untuk memenuhi hasrat bergaya manusia, para produsen industri pakaian berlomba-lomba mengembangkan mode pakaian, bersaing dengan selisih harga dan kualitas. Produksi barang fesyen meningkat, dan tren pakaian cepat berevolusi.

Perkembangan Industri Fesyen

H&M dan industri fashion hari ini (unsplash.com)

            Industri fesyen apparel dimulai sekitar tahun 1990-an. Dinamika industri pakaian bergerak dari memudarnya produksi masal hingga meningkatnya jenis fesyen. Karakteristik rantai fesyen berubah, memaksa produsen untuk menekan harga dan fleksibilitas pada desain, kualitas, dan kecepatan pasar.

            Guercini (2001) melihat persaingan pasar fesyen dengan permintaan tren fesyen. Belakangan ini para produsen fesyen bersaing dengan kecepatan memasarkan produknya. Setidaknya para produsen mengadopsi ‘quick fashion’ sebagai luaran dari proses konsumsi berbasis musiman (Taplin 1999).

            Dengan menyediakan koleksi terbatas, produsen menakut-nakuti konsumen dengan ide ‘Here Today, Gone Tomorrow’. Hal ini mengindikasikan siklus lebih pendek dan margin keuntungan lebih tinggi dari penjualan yang cepat (Sydney 2008). Menurut Nartional Post 2009, hasrat untuk mendapatkan kepuasan instant dan variatif menjadi motivasi konsumen untuk lebih menyukai pengecer seperti Zara dan H&M. Menurut Fernie dan Sparks (1998) fesyen didefinisikan sebagai ekspresi yang karakternya dibentuk oleh faktor-faktor pemasaran.

            Industri pakaian berkembang pesat dan tak terkendali. Salah satunya adalah fenomena fast fashion terjadi karena dorongan untuk produksi pakaian lebih cepat dan lebih banyak. Diotaki oleh kapitalisme, fast fashion berusaha menekan biaya produksi serendah mungkin. Biaya penanganan limbah tekstil dan sisa pembakaran bahan bakar batu bara dialihkan untuk keuntungan produsen.

            Kerusakan lingkungan terjadi secara terstruktur sehingga konsumen industri fesyen tidak menyadari eksploitasi alam yang terus belanjut. Fenomena fast fashion berakar dari sistem kapitalisme industri, perolehan sebanyak-banyaknya hingga terbentuk budaya konsumtif. Kapitalisme membujuk konsumen untuk membeli terus-menerus karena tren model yang cepat berubah.

            Target dari sistem kapitalisme ini ialah negara berkembang, sebagai tempat produksi yang menyediakan bahan dan tenaga kerja murah, sekaligus menjadi pasar. Namun budaya konsumtif menyebabkan sampah over-konsumsi.

            Pakaian murah sering berakhir di tempat sampah. Harga murah dan cepatnya produksi model busana menggeser nilai guna pakaian. Produksi pakaian berlebihan menimbulkan permasalahan lingkungan. Akibat pembakaran stok pakaian tidak terjual oleh retailer H&M pada 2017 sebanyak 19 ton dan Burberry pada 2018 senilai 38 juta dolar AS.


            Siapa yang menyangka bahwa fast fashion menyumbang limbah terbesar dibanding industri lain? Pewarna pakaian yang digunakan industri tekstil dapat mencemarkan air. Bahan kimia yang terkandung merupakan bahan terburuk setelah sisa industri pertanian. Untuk membuat satu kaos dibutuhkan sekitar 2720 liter air, sama dengan jumlah air yang diminum satu orang tiap tahun.

            Bagi kesehatan lingkungan, fast fashion cukup mengkhawatirkan. Menurut Fashion Industry Waste Statistics Edge Expo, industri pakaian dan tekstil adalah pencemar terbesar kedua di dunia setelah minyak. Marieke Eyskoot menyatakan bahwa untuk membuat pakaian setiap tahunnya 85 juta pohon ditebang. 40.000-50.000 ton pewarna kain dibuang ke sungai tanpa pengolahan.

            Limbah tekstil semakin banyak sejak tahun 2016, seiring pertumbuhan retailer-retailer baru. Dilansir dari World Wear Project, rata rata penduduk dunia menghasilkan limbah pakaian 31,7 kg limbah pakaian tiap tahun. Sayangnya, hanya satu persen dari seluruh limbah tekstil di dunia yang didaur ulang, sisanya hanya dibakar atau dibuang ke tanah. Padahal 95 persen limbah pakaian itu masih bisa digunakan. Memerlukan waktu 200 tahun agar pakaian bekas sebanyak itu terurai.

            Retailer yang sadar akan dampak buruk dari industri ini seharusnya mengadakan gerakan mendaur dan memakai ulang pakaian. Misalnya dengan mengadakan event menukar pakaian lama dengan pakaian bekas milik orang lain. Tanpa menambah limbah pakaian, para pemerhati fesyen tetap bisa bergaya dengan pakaian yang belum dimilikinya.

            Gerakan zero waste yang diselenggarakan brand ternama setidaknya akan membantu mengurangi masalah limbah pakaian. Antara lain dengan mulai membeli dan memakai pakaian bekas yang masih layak, daur ulang dan modifikasi pakaian lama menjadi gaya baru, tidak bersifat konsumtif terhadap pakaian baru yang tidak dibutuhkan.

            Kampanye atau gerakan pakaian bekas harus dihubungkan dengan aspek ekologi dan ekonomi politik. Harus kita sadari bahwa di belakang fast fashion terdapat gunungan kerusakan lingkungan terbesar dari sektor industri fesyen.


*Tulisan ini dibuat Desember 2019

Comments