Berkunjung ke ANRI dan Perpustakaan Nasional


    Baru Senin kemarin, saya dan teman-teman kuliah seangkatan mengunjungi Gedung Lembaga Pemerintahan Non Kementrian di Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan. Perjalanan Bulaksumur – Jakarta Selatan ini mungkin tidak akan pernah saya lakukan jika bukan karena kewajiban mata kuliah Seminar Sejarah dan Praktik Penelitian Sejarah II – mata kuliah mahasiswa S1 Ilmu Sejarah UGM semester 6 dengan bobot 5 SKS yang seolah menjadi momok setiap Selasa dan Kamis pagi pukul 7.15.

Disebut momok bukan karena berhantu, tapi karena kengerian dan ketakutan yang dirasakan serempak oleh 50 orang di awal perkuliahan. Beberapa minggu setelah perkuliahan dimulai pertama kali, sekitar seperdelapan mahasiswa gugur, dengan daftar kehadiran penuh coretan. Bisa jadi karena bangun kesiangan selepas begadang membuat tinjauan pustaka, atau karena terserang sakit asam lambung di pagi hari karena begadang dengan kopi, atau terkena serangan jantung saking cemasnya. Mata kuliah ini mengingatkan kami pada skripsweet – disebut sweet untuk mengurangi hawa menyeramkan, membuat kami gentar karena masih melihat kakak tingkat angkatan 2012 yang belum lulus.

Bukan saya seorang yang kecut hati setiap bertemu Profesor pengampu mata kuliah ini, pasalnya hampir seisi kelas – sekarang sekitar 40 orang – mengalami kegugupan yang sama, takut ditunjuk untuk menjawab pertanyaan atau membacakan rumusan masalah calon penelitiannya. Setidaknya seperempat dari mahasiswa yang mengikuti kelas ini tiba di kelas dengan napas tersengal, berlarian dari tempat parkir atau tempat fotokopi, takut terlambat. Terlambat berarti tidak dapat mengikuti kelas, daftar kehadiran dicoret, yang jika mencapai lebih dari 5 kali maka tidak dapat mengikuti Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Sering terlambat, atau sering sakit di mata kuliah ini berakibat mengulang tahun depan. Mengerikan, bukan? Eh atau mental kami yang lembek seperti biskuit dicelup ke air?

ANRI Masih Harus Banyak Belajar

Agenda kunjungan ke ANRI pada 25 Maret 2019 pagi itu, disambut hangat oleh Mbak Erika, Humas ANRI yang menawan. Kami digiring ke Ruang Soemartini, menonton video profil dan sejarah singkat sejak bernama Landsarchief hingga menjadi ANRI. Teh Neneng mewakili Ruang Baca Arsip menjelaskan teknis pelayanan dan fasilitas yang disediakan ANRI. Setelah sesi tanya jawab, kami diizinkan melihat katalog dan menggunakan fasilitas di Ruang Baca, juga berkeliling Ruang Diorama. Selama berada di Gedung ANRI, saya merasa dimanjakan dengan banyaknya katalog arsip, untuk kemudian merasa tak berdaya mengingat tempat kuliah yang jauh dari Gedung ANRI.

Sebagai mahasiswa Sejarah yang amat membutuhkan arsip dalam proses penelitian, saya tidak lagi memandang arsip hanya sebagai pelengkap data atau bukti penguat gagasan. Arsip bermakna banyak, informasi yang termaktub di dalamnya secara tidak langsung bercerita tentang hal-hal yang dilakukan oleh suatu organisasi. Arsip berarti rekaman atau jejak, identitas dan memori suatu bangsa, sekaligus warisan yang tidak hanya harus dijaga, tapi juga digunakan semaksimal mungkin. Seringkali dikatakan bahwa arsip menentukan peradaban suatu bangsa, itulah yang dipahami Belanda.

Nationaal Archief di Den Haag yang lahir tahun 1802 merawat “hartanya” dengan sistematis demi menjaga keutuhan bentuk asli arsip. Dengan teknologi yang jauh lebih mumpuni daripada ANRI, Nationaal Archief melestarikan informasi dengan cara mengalihkan arsip ke dalam bentuk digital. Yang disebut digitalisasi ini tak lain untuk memudahkan, mempercepat, dan memangkas biaya akses orang banyak terhadap suatu arsip. Saya kira ANRI masih perlu belajar banyak dari Nationaal Archief dalam pembaharuan fasilitas dan pelayanan, terutama digitalisasi arsip.

Sekilas, saya lihat ANRI masih berjalan sendiri, cenderung eksklusif, belum menggandeng arsip dari daerah-daerah kerajaan dan kesultanan abad ke-15 hingga ke-17. Arsip statis dan dinamis koleksi ANRI hanya warisan dari arsip VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, ditambah inventaris-inventaris dari Sekretaris Negara, Kementrian-Kementrian dan Departemen-Departemen Negara. Padahal saya membayangkan ANRI berisi lengkap arsip dari daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan negara, dalam periode yang lebih jauh dari periode VOC. Mungkin abad ke-15 dinilai jauh dari ide “nasional”, jauh dari ke-Indonesia-an atau ?

ANRI bersinergi dengan Badan Arsip Daerah-daerah mengumpulkan arsip, menciptakan harmoni dalam persatuan arsip dari seluruh sudut Republik, menyulapnya menjadi bentuk digital untuk memperluas jangkauan akses terhadap informasi arsip. Siapapun bisa jadi sejarawan, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk mencapai tempat penyimpanan arsip, tanpa perlu susah mencari biaya kuliah jurusan sejarah. Saya dan kawan-kawan bisa membaca koran-koran lama sebelum kemerdekaan dengan smartphone dan koneksi internet sambil makan gorengan Yu’ Par di Kantin Bonbin. Tapi itu jauh dari kenyataan, hanya khayal yang timbul karena perasaan iri dengan website kitlv-media.nl, niod.nl, delpher.nl, archief.nl dan sebagainya.

Perpustakaan Nasional Tertinggi Sedunia

Setelah Checkout dari Hotel, Selasa pagi pukul 7, bus berjalan lambat mengikuti arus kesibukan pagi ibu kota, menuju Jalan Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat. Tanpa lahan parkir untuk bus, Gedung Perpustakaan Nasional dengan terdiri dari bangunan cagar budaya di bagian depan dengan Gedung baru setinggi 27 lantai di belakangnya. Gedung baru yang diresmikan pada September 2017 dengan bangga memutar pidato Jokowi mengenai infrastruktur dan bla bla bla, sepanjang hari tanpa henti, saya hanya menyayangkan listrik yang terbuang sia-sia karena tidak ada yang mempedulikan video yang diulang-ulang itu. Pembangunan berarti pemborosan? Belum lagi lampu-lampu estetik di dalamnya yang menghabiskan banyak listrik. Terserahlah, biar bangga hati saja si pengurus dan pegawai yang bekerja di Gedung Perpustakaan Tertinggi Sedunia itu.

Juli 2018, Kepala Perpustakaan Nasional RI pernah mengatakan bahwa perpustakaan dapat menjembatani kepentingan orang, juga berperan dalam pertumbuhan ekonomi negara. Ia percaya bahwa perpustakaan mampu menyatukan kekuatan. Bersama dengan ANRI dan IPB, Perpustakaan Nasional RI melakukan definisi ulang terhadap perpustakaan demi menyambut Revolusi Industri 4.0. Dengan memperkirakan budaya baca yang akan meningkat, Perpustakaan Nasional RI menggandeng IPB dan beberapa perguruan tinggi lain di Bogor untuk menyatukan dan membagikan data untuk memudahkan akses kepada masyarakat secara lebih luas. Singkatnya, saya setuju saja dengan usaha yang dilakukan Perpusnas dan ANRI ini.

Sayangnya saya belum sempat membandingkan fasilitas dan perkembangan Perpustakaan Nasional RI dengan perpustakaan nasional milik negara lain. Saya dan kawan-kawan takjub dengan Gedung baru itu, megah berdindingkan kaca-kaca hitam. Sombong dengan tulisan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Prancis, Mandarin dan Arab. Baru datang, kami disuruh mendongak untuk melihat keseluruhan tinggi Gedung. Di lantai 1 terdapat rak buku setinggi 4 lantai, berisi buku-buku tebal berwarna kuning kecoklatan. Katanya, koleksi Perpusnas RI ini sangat lengkap, tapi tidak bisa dipinjam, hanya boleh meng-copy referensi. Hmm.

Untuk administrasi mendaftar keanggotaan saya rasa cukup mudah, saya hanya perlu mengisi data diri di keanggotaan.perpusnas.go.id. Setelah mendapat nomer anggota, saya bisa menggunakan fasilitas di website tersebut. Kalau ingin mencetak kartu anggota, tinggal datang ke lantai 2, mengambil nomor antre untuk foto, dan tara! Bertambah satu kartu keanggotaan perpustakaan di dompet saya.

Banyak sekali komputer tersedia di Perpusnas, juga tempat duduk yang nyaman, ruangan ber-AC, sofa-sofa empuk untuk menunggu dan rak-rak buku besar. Lantai 7 hingga lantai 24 terdiri dari layanan koleksi anak, lansia dan disabilitas, koleksi audiovisual, koleksi naskah nusantara, koleksi foto, peta dan lukisan, koleksi berkala mutakhir, koleksi manca negara, koleksi monograf terbuka hingga koleksi majalah terjilid dan koleksi budaya. Katanya lagi, dulu Perpusnas jarang dikunjungi karena hanya terdiri dari 3 lantai dan tidak selengkap sekarang ini.

Seharian kami berada di Perpusnas, tempat favorit saya adalah lantai 4, kantin. Harga makanan di minimarket dijual sedikit lebih mahal daripada di minimarket lain. Menu makanan berat juga tidak terlalu beragam. Di Perpusnas, kantin menjadi tempat yang paling santai dan ramai, meregangkan otot mata selepas membaca, ruang untuk bercanda dan tertawa lepas. Tempat kesukaan saya yang kedua ialah Mushola di lantai 6, menenangkan, menyegarkan kepenatan, berbanding terbalik dengan kantin. Lantai kesukaan saya berikutnya terletak di paling atas, dengan lounge dan balkon untuk berfoto, eh maksudnya untuk melihat gedung di kiri dan gedung di kanan. Memangnya berharap pemandangan apa? Kalau Pucuk Monas, Masjid Istiqlal dan Katedral, bisa dilihat dari sini.

Akhir kata, tulisan ini bukan berupa review ANRI dan Perpusnas RI. Hanya ungkapan perasaan dan pengalaman berkunjung ke Gedung Perpustakaan Nasional tertinggi sedunia! Ah apa harus bangga dengan julukan itu?


Comments