Takut Menjadi Dewasa. Atau Takut Merasa Tidak Cukup?

Menjadi dewasa itu rasanya sulit. Peralihan dari masa remaja yang banyak main-main, menuju masa dewasa yang katanya banyak dipermainkan oleh kehidupan. Itu kata orang.

Takut membuka pintu dan menghadapi kenyataan hidup sebagai orang dewasa

Menyadari rasa takut dalam diri

Kurasa, setiap aku akan menapaki status atau kondisi baru yang mana aku belum pernah berada di titik itu, aku akan tenggelam dalam ketakutan dan kekhawatiran. Takut dan khawatir aku tidak lagi bisa melakukan hal-hal yang dulu sering kulakukan, misalnya bengong atau tidur seharian. Takut dan khawatir kehabisan waktu untuk jalan-jalan atau sekedar bersantai karena kesibukan di tempat baru. Takut dan khawatir gak bisa sering mengunjungi orang tua dan kumpul bareng adik-adik karena libur cuma sebentar. Dan banyak lagi.

Seringkali aku tenggelam dalam ketakutanku itu berhari-hari. My bad and my worst side saling berdebat. Ya, bad and worst karena aku gak punya good side. Maksudku, ketika aku berpikiran negatif, good side of me tuh gak tahu ke mana. 

Lalu, aku semakin takut karena merasa pikiran dan ketakutanku itu hanya ada di kepalaku dan orang lain gak bisa mengerti. Aku memilih tidak menceritakan atau mendiskusikannya dengan orang terdekat.

Lagi-lagi aku menekan perasaanku. Tapi biasanya aku gak menyadari itu, aku cuma tahu aku tertekan. Setelah merenung beberapa hari, barulah aku baru sadar kalau aku tertekan dengan diriku sendiri yang berpikir aku gak boleh merasakan perasaan buruk (takut, khawatir, sedih, kecewa, menyesal). Aku memaksakan diriku untuk selalu berpikir dan merasakan emosi positif (senang, bahagia, tenang) saja.

Dan itu salah. Ya, aku tahu. Tapi selalu telat sadar.

Di sini aku tidak akan mendiagnosa dan melabeli diriku. Aku hanya baru menyadari belakangan ini bahwa aku terlalu memaksakan diriku bercitra positif di mata orang lain. Tidak pernah marah, tidak pernah sedih, tidak pernah kecewa, khawatir, takut, dsb. Aku lupa atau mungkin tidak menyadari bahwa manusia itu terdiri atas beragam emosi, negatif maupun positif. Dan karena keduanya itulah aku menjadi manusia.

Namun, setelah menyadari itu, aku gak bisa sekaligus menjadi orang yang terbuka dengan segala rasa yang ada dalam diriku. Aku masih merasa emosi negatif sebagai suatu kelemahan yang tidak boleh aku tunjukkan di hadapan mata di luar kepalaku. Jarang aku bisa mendeskripsikan atau mengungkapkan apa yang kurasa. Aku merasa tidak pernah punya kesempatan untuk itu.

Ketika ada orang bertanya kenapa, aku pertama akan bilang gak apa-apa. Kedua kali aku mendengar  pertanyaan itu lagi, air mataku akan tumpah. Aku juga emang jarang menanyakan itu kepada diriku sendiri. Pertanyaan yang selalu kulemparkan ternyata memang terlalu menekan diriku sendiri, bukannya melegakan.

Sebenarnya bukan itu yang mau aku tulis di sini. Kembali ke ketakutanku: menjadi dewasa, akan jadi apa aku besok?

Takut menjadi dewasa dengan segala realita yang tidak selalu manis

Setelah sidang skripsi bulan November 2020, bukan revisi yang aku pikirkan, tapi setelah lulus aku mau jadi apa? Aku akan mengerjakan apa untuk menghidupi diriku, aku kerja untuk siapa dan atas nama siapa, dll. Kekhawatiran menjalani kehidupan setelah menyandang gelar sarjana sudah bercokol di benakku bahkan sebelum aku resmi menjadi seorang sarjana.

Aku pernah menyusun rencana dan target-target. Perhari. Perminggu. Perbulan. Pertahun. Tapi sayangnya tidak semuanya tercapai. Mungkin aku tidak menulisnya berulang-ulang, tidak disiplin menjalankan dan mengevaluasi kegiatanku. Parahnya, aku dibayangi perasaan gagal dan kalah terus-menerus karena aku tidak bisa merealisasikan semua yang sudah kurencanakan di atas kertas. Atau aku kurang detail menentukan target dan kriterianya? Entah.

Menuju dewasa, air mata tumpah di mana-mana :')

Kekhawatiran lain muncul ketika aku mendapatkan pekerjaan pertama. Keisenganku mengirim CV dan lamaran kerja, berujung diterima. Bukan iseng namanya ya kalau sampe kirim CV dan lamaran serta ngerjakan tes dan role pay dengan serius, hehehe. Kekhawatiran baru tumbuh karena kerjaan tersebut tidak linier dengan jurusanku.

Belum seumur jagung aku mencoba pekerjaan itu, tapi aku kadung tidak tahan. Aku sebenarnya lebih suka mengurus sesuatu, mungkin posisi ynag berhubungan dengan manajemen organisasi. Nyatanya, pekerjaanku di bidang pelayanan yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Rasanya sangat melelahkan meskipun tidak bertemu secara langsung. Cacian dan bentakan seperti cemilan sepanjang hari. Sayangnya, aku memutuskan berhenti.

Iya, aku bilang "sayangnya" karena ternyata aku menyesal kenapa aku tidak bisa memaksa diriku untuk bertahan sedikit lebih lama. Pasti ada banyak hal yang bisa kupelajari bukan? Begitulah, ternyata caraku berpikir masih sangat kekanakan, belum dewasa.

Penyesalan tersebut bertambah sepanjang aku menganggur. Aku tidak benar-benar menganggur, aku beberapa kali menjadi ghost writer, volunteering, mendaftar beasiswa untuk S2, mengikuti proses seleksi CPNS, dan melamar pekerjaan lain. Tidak berbuah banyak, hanya gagal dan gagal. 

Aku tidak takut untuk mencoba lagi, tapi sebagai anak pertama aku merasa malu masih ditanggung oleh Ayah dan Ibu. Malu juga kepada adik-adikku karena belum bisa menjadi contoh sebagai kakak yang baik, mandiri, dewasa, dan dapat diandalkan. Perasaan malu dan bersalah itu sering kali memancing diriku untuk mengutuki diri sendiri. Lagi-lagi, aku kurang menghargai diriku dan selalu menyalahkan kekuranganku.

Dan sekarang, ketika aku dinyatakan diterima di suatu tempat kerja, aku malah khawatir aku tidak bisa bertahan. Karena tempat kerja tersebut sering mendapat stereotip buruk, dan lingkunganku (teman-teman sepermainanku) banyak yang kurang suka bahkan menghindari tempat kerja itu.

Aku yang kadung diterima, takut nanti aku tidak bisa seperti teman-temanku. Kerja di lingkungan anak muda usia 20-30-an dengan dresscode millenial. Resign untuk pindah kerja ke kota impian atau ke tempat kerja dengan salary yang lebih menggiurkan. Ambil cuti dan liburan ke luar negeri. Tanpa apel pagi dan seragam setiap hari.

Karena ketakutanku, aku jadi merasa kalah. Padahal, bagi orang lain, aku beruntung, aku menang pada percobaan pertama.

Merasa tidak pernah cukup

Sempat terlintas di benakku, apa aku mundur dari posisi ini? Apa kata saudara dan teman-temanku? Hmm. Aku berpikir ulang. Kalau aku mundur, aku lebih kalah dari seorang pecundang karena aku bahkan belum mulai bertarung. Apa aku yakin mau membuat Ayah dan Ibu kecewa? Tidak.

Apakah aku tidak bersyukur?

???

Mungkin saja. Setelah kurenungkan setahun belakangan, rupanya aku selalu merasa kurang dengan apa yang ada pada diriku sekarang. Aku selalu mencari yang lebih baik, lebih hebat yang patokannya adalah orang lain. Akibatnya, aku tidak nyaman dengan kondisiku, merutuki nasib dan mengutuk diriku.

Aku harus mengingat lagi caranya bersyukur atas apa yang terjadi pada diriku. Merasakan semuanya dengan penuh kesadaran. Menerimanya, baik ataupun buruk. Tanpa membandingkan dengan kondisi orang lain. 

CUKUP. Aku harus belajar lagi memahami makna di balik kata itu. Kalau dikaitkan dengan apa yang ada di kepalaku saat ini: aku harus bersyukur dan merasa cukup dengan diterima kerja di tempat itu. Berapapun besarnya gaji yang akan kuterima, bagaimanapun budaya kerja nantinya, aku harus merasa cukup dan belajar beradaptasi dengan semuanya. Bahkan jika aku masih merasa takut tidak bisa berkembang, aku harus bisa memanfaatkan waktu luangku untuk mengasah keahlian dan keterampilan lain.

Aku pernah dengar quotes tentang rasa takut. Tapi aku lupa siapa yang mengatakan. Intinya: ketakutanmu hanya ada dalam kepalamu dan belum tentu terjadi, jadi jangan percaya dan tenggelam dalam ketakutanmu. Sebagai gantinya, aku drop quote yang mirip deh.

"Fear lives in the head. And courage lives in the heart. The job is to get from one to the other." Louise Penny

Jadi, semalam aku memutuskan untuk berjalan terus. Menjalani apa yang seharusnya kuhadapi. Toh, aku bukan seorang diri yang takut menghadapi hari esok. Ada banyak jutaan orang lainnya yang khawatir dengan pekerjaannya besok tidak sesuai dengan ekspektasinya. Dan mereka tetap menghadapi rasa takut itu.

Sempat terpikir, apa aku masih sangat self-centered, sangat egois? Tidak juga. Jika iya, aku mungkin sudah menyerah sejak berbulan-bulan lalu. Sebaliknya, aku hadiahkan pekerjaanku ini untuk Ayah, Ibu dan adik-adik. Aku merasa cukup dengan diriku sekarang. Tapi aku tidak akan berhenti belajar.


Ah, seandainya hidup hanya untuk diri sendiri...


7 Januari 2022

Comments

  1. Merasa tidak pernah cukup not bad at all. It's move us to achieve something. Thanks for sharing

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku setuju kak. Bad or good pasti selalu berdampingan dalam berbagai hal. Aku perlu memandang sesuatu dari berbagai sisi dan perspektif hehe. Terima kasih sudah mampir

      Delete

Post a Comment