![]() |
Matikan HP sesaat (unsplash.com) |
Refleksi personal
Selama 24
jam menyalakan mode pesawat di smartphone,
hal positif yang paling saya rasakan ialah ketenangan. Saya tidak perlu membuka
smartphone setiap jam karena tidak sedang
menunggu atau ditunggu oleh orang lain. Saya merasa memiliki banyak waktu untuk
mengerjakan hal-hal pribadi, misalnya membaca buku, mendengarkan musik,
merapikan kamar, mencuci pakaian, makan dengan tenang, tidur dengan nyaman. Pekerjaan
tidak terganggu dengan nada dering pemberitahuan (pesan dan telepon masuk, atau
pemberitahuan promo belanja) dari smartphone.
Saya bisa melakukan hal-hal tersebut tanpa terlalu banyak jeda yang sering kali
membuyarkan konsentrasi.
Lepas dari
kehidupan internet dalam waktu sehari semalam, merekatkan komunikasi dan
interaksi dengan orang-orang di sekitar secara langsung. Saya mengerjakan tugas
atau membaca buku dengan fokus, berbincang dan berdiskusi tanpa jeda yang
mengulur waktu (misal membalas pesan atau melihat update toko daring dan media sosial yang tidak terlalu mendesak).
Tanpa distraksi dari internet, saya merasa bisa lebih fokus mengurus dan
mengembangkan diri sendiri serta apa yang terlihat dalam jangkauan mata.
Benar slogan
yang mengatakan “internet mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”.
Tanpa internet berarti kita memiliki jangkauan interaksi yang terbatas.
Interaksi tanpa media (dalam hal ini internet) hanya bisa dilakukan dengan
orang yang berada dalam jangkauan kita. Saya merasa kebingungan dan kesulitan
menghubungi orang lain untuk urusan dengan tingkat urgensi tinggi. Saya juga
tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga yang berada jauh di kampung halaman.
Kalau sudah begini, rasanya saya tidak bisa berpisah dari koneksi dengan dunia
digital.
Hal-hal di
atas yang saya rasakan tentu tidak sama dengan yang orang lain rasakan,
terutama mereka yang memiliki urgensi dan mobilitas tinggi di dunia
berjejaring. Mereka yang bernapaskan koneksi internet dalam dunia yang sangat
luas menembus batas ruang dan waktu. Bukan berarti saya tidak membutuhkan
koneksi internet sama sekali. Tanpa menafikan bahwa saya memiliki kehidupan di
dunia digital, artinya saya pasti membutuhkan koneksi internet untuk menunjang
komunikasi dan mobilisasi harian, saya kira perlulah kita menyisihkan waktu
beberapa jam dalam seminggu untuk beristirahat dari koneksi dunia digital (pada
waktu selain tidur). Tujuannya untuk memperoleh ketenangan dalam merefleksikan
kehidupan pribadi, mengambil jeda untuk memulai hari baru, atau hal-hal lain
yang berhubungan dengan kondisi medis dan psikologis.
Persoalan yang muncul atau hilang terkait keterhubungan dengan dunia digital
Di era
digital sekarang ini, internet yang tidak dapat dihindari kehadirannya ternyata
bukan berarti tidak memiliki sisi negatif. Internet atau koneksi dengan dunia
digital justru dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam hampir segala kegiatan
interaksi sosial. Berada di dunia digital, memungkinkan berita atau informasi
tersebar luas dalam sekejap mata. Namun berita palsu atau yang akrab kita kenal
sebagai hoax juga dapat tersebar sama
cepatnya dengan berita valid.
Perkembangan
teknologi digital yang kompleks juga perlu diwaspadai. Contohnya pada tersebarnya
berita palsu atau hoax. Pada golongan
pengguna internet dengan tingkat literasi rendah, hoax dengan mudah disebarkan karena tidak ada verifikasi atau
validasi fakta. Sumber berita yang tidak jelas akar dan kepentingannya dengan
mudah berlalu lalang di internet. Naasnya berita-berita tidak jelas itu banyak
dipercaya pengguna internet dan media sosial.
Selain
penyebaran hoax, banjirnya ujaran
kebencian juga tak dapat dibendung dari perkembangan dunia digital. Di sini,
saya melihat media sosial menjadi penyalur yang berperan paling dominan. Media
sosial membuka kesempatan bagi penggunanya untuk saling melihat dan
memperlihatkan sesuatu. Sisi baiknya, media sosial dapat mempermudah para
penggunanya membangun relasi. Buruknya, media sosial menjadi arena perkelahian
virtual dan baku hantam dengan kata-kata kebencian karena penggunanya tidak
perlu khawatir mendapat luka fisik.
Jika dilihat
dari sisi personal, media sosial dapat dikatakan sebagai cerminan atau citraan
penggunanya. Cerminan terhadap hal-hal yang disukainya, sekaligus citraan atas
apa yang ia pertontonkan kepada publik – bagaimana ia ingin dilihat dan dinilai
oleh publik. Lain halnya jika dikaitkan dengan politik identitas, media sosial
berperan sebagai agen penyebaran identitas ketika penggunanya mengasosiasikan
dirinya dengan suatu kelompok. Bahkan pada tatanan yang lebih massif di
Indonesia, media sosial dianggap menjadi wayang penyebar konflik politik identitas.
*Tulisan ini dibuat pada September 2019.
Comments
Post a Comment