Sehari Tanpa Koneksi dengan Dunia Digital (2019*)

 

Matikan HP sesaat (unsplash.com)

Refleksi personal

    Selama 24 jam menyalakan mode pesawat di smartphone, hal positif yang paling saya rasakan ialah ketenangan. Saya tidak perlu membuka smartphone setiap jam karena tidak sedang menunggu atau ditunggu oleh orang lain. Saya merasa memiliki banyak waktu untuk mengerjakan hal-hal pribadi, misalnya membaca buku, mendengarkan musik, merapikan kamar, mencuci pakaian, makan dengan tenang, tidur dengan nyaman. Pekerjaan tidak terganggu dengan nada dering pemberitahuan (pesan dan telepon masuk, atau pemberitahuan promo belanja) dari smartphone. Saya bisa melakukan hal-hal tersebut tanpa terlalu banyak jeda yang sering kali membuyarkan konsentrasi.

    Lepas dari kehidupan internet dalam waktu sehari semalam, merekatkan komunikasi dan interaksi dengan orang-orang di sekitar secara langsung. Saya mengerjakan tugas atau membaca buku dengan fokus, berbincang dan berdiskusi tanpa jeda yang mengulur waktu (misal membalas pesan atau melihat update toko daring dan media sosial yang tidak terlalu mendesak). Tanpa distraksi dari internet, saya merasa bisa lebih fokus mengurus dan mengembangkan diri sendiri serta apa yang terlihat dalam jangkauan mata.

    Benar slogan yang mengatakan “internet mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Tanpa internet berarti kita memiliki jangkauan interaksi yang terbatas. Interaksi tanpa media (dalam hal ini internet) hanya bisa dilakukan dengan orang yang berada dalam jangkauan kita. Saya merasa kebingungan dan kesulitan menghubungi orang lain untuk urusan dengan tingkat urgensi tinggi. Saya juga tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga yang berada jauh di kampung halaman. Kalau sudah begini, rasanya saya tidak bisa berpisah dari koneksi dengan dunia digital.

    Hal-hal di atas yang saya rasakan tentu tidak sama dengan yang orang lain rasakan, terutama mereka yang memiliki urgensi dan mobilitas tinggi di dunia berjejaring. Mereka yang bernapaskan koneksi internet dalam dunia yang sangat luas menembus batas ruang dan waktu. Bukan berarti saya tidak membutuhkan koneksi internet sama sekali. Tanpa menafikan bahwa saya memiliki kehidupan di dunia digital, artinya saya pasti membutuhkan koneksi internet untuk menunjang komunikasi dan mobilisasi harian, saya kira perlulah kita menyisihkan waktu beberapa jam dalam seminggu untuk beristirahat dari koneksi dunia digital (pada waktu selain tidur). Tujuannya untuk memperoleh ketenangan dalam merefleksikan kehidupan pribadi, mengambil jeda untuk memulai hari baru, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan kondisi medis dan psikologis.

 

Persoalan yang muncul atau hilang terkait keterhubungan dengan dunia digital

HP, pintu dunia digital (unsplash.com)

Di era digital sekarang ini, internet yang tidak dapat dihindari kehadirannya ternyata bukan berarti tidak memiliki sisi negatif. Internet atau koneksi dengan dunia digital justru dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam hampir segala kegiatan interaksi sosial. Berada di dunia digital, memungkinkan berita atau informasi tersebar luas dalam sekejap mata. Namun berita palsu atau yang akrab kita kenal sebagai hoax juga dapat tersebar sama cepatnya dengan berita valid.

Perkembangan teknologi digital yang kompleks juga perlu diwaspadai. Contohnya pada tersebarnya berita palsu atau hoax. Pada golongan pengguna internet dengan tingkat literasi rendah, hoax dengan mudah disebarkan karena tidak ada verifikasi atau validasi fakta. Sumber berita yang tidak jelas akar dan kepentingannya dengan mudah berlalu lalang di internet. Naasnya berita-berita tidak jelas itu banyak dipercaya pengguna internet dan media sosial.

Selain penyebaran hoax, banjirnya ujaran kebencian juga tak dapat dibendung dari perkembangan dunia digital. Di sini, saya melihat media sosial menjadi penyalur yang berperan paling dominan. Media sosial membuka kesempatan bagi penggunanya untuk saling melihat dan memperlihatkan sesuatu. Sisi baiknya, media sosial dapat mempermudah para penggunanya membangun relasi. Buruknya, media sosial menjadi arena perkelahian virtual dan baku hantam dengan kata-kata kebencian karena penggunanya tidak perlu khawatir mendapat luka fisik.

Jika dilihat dari sisi personal, media sosial dapat dikatakan sebagai cerminan atau citraan penggunanya. Cerminan terhadap hal-hal yang disukainya, sekaligus citraan atas apa yang ia pertontonkan kepada publik – bagaimana ia ingin dilihat dan dinilai oleh publik. Lain halnya jika dikaitkan dengan politik identitas, media sosial berperan sebagai agen penyebaran identitas ketika penggunanya mengasosiasikan dirinya dengan suatu kelompok. Bahkan pada tatanan yang lebih massif di Indonesia, media sosial dianggap menjadi wayang penyebar konflik politik  identitas.

 

*Tulisan ini dibuat pada September 2019.

Comments