Review buku "Gender, Islam and Democracy in Indonesia" oleh Kathryn Robinson

            Kathryn Robinson, seorang antropolog yang berpengalaman riset puluhan tahun di Indonesia, menawarkan penafsirannya terhadap politik Indonesia. Dilengkapi dengan teori gender modern, ia menguji hubungan gender sebagai aspek pelaksana kekuasaan dalam masyarakat. Buku ini bertujuan memetakan perubahan dalam hubungan gender di Indonesia melalui abad ke-20 dan tantangan baru yang dihadapi perempuan pada awal abad ke-21.

            Dalam bab 1, Kathryn meninjau literatur antropologi menyajikan peluang dan pembatasan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Ia membahas ekspresi Islam (melihat dari populasi Islam di Bugis, Jawa, dan Aceh) terhadap perbedaan gender yang tercermin dalam perkawinan, warisan, kekerabatan dan praktik atau ritual kegamaan. Pendapat Kathryn ialah bahwa hubungan laki-laki dan perempuan yang diidealkan pada era Soeharto, tidak dapat mewakili berbagai peraturan gender di Indonesia.

            Bab 2 buku ini menyoroti akhir tahun 1920 sebagai periode penting bagi perempuan Indonesia, khususnya Kongres Wanita 1928. Kathryn menelusuri asal-usul gerakan perempuan dan perannya dalam menciptakan kebangsaan. 

            Pada bab 3 ia mendapati bahwa organisasi perempuan agama dan sekuler memiliki pandangan yang berbeda tentang poligami. Sementara Gerwani dengan keras menentang poligami dan menuntut adanya pemberlakuan hukum pernikahan yang demokratis. Kathryn menekankan pentingnya model feminitas pribumi yang diciptakan oleh keterlibatan perempuan dalam ekonomi rumah tangga dan tradisi yang tidak ‘mendomestikasi’ perempuan. 

            Ia menyoroti azas kekeluargaan yang digunakan rezim Soeharto untuk membangun tatanan gender. Salah satunya ialah usaha rezim Soeharto mengadakan program Keluarga Berencana yang membangun citra perempuan bertanggung jawab serta peduli keluarga.

Prof.  Kathryn Robinson

            Dalam bab 4, Kathryn menjelaskan efek transformatif dari kebijakan ekonomi Orde Baru di tempat kerja yang bertentangan dengan peraturan gender. Dalam hal ini yang ditandai dengan adanya domestikasi. Ia berpendapat bahwa pengaruh perempuan pada urutan gender didasarkan pada representasi mereka di media dan berkaitan dengan ranah simbolis, meskipun keterlibatan perempuan dalam keputusan publik meningkat. Ia menunjukkan bahwa kesetaraan gender tidak ditetapkan oleh perempuan yang memasuki ranahan kerja manufaktur (yang hanya menerima 60-70% dari gaji laki-laki pada pekerjaan yang sama).

            Kathryn membahas bentuk baru identitas seksual dan ekspresi gender melalui perubahan seksualitas remaja dan representasi perilaku seksual dalam budaya popular pada bab 5. Menurutnya, meskipun perempuan dapat membuat keputusan sendiri, tetapi sektor seks komersial yang terus berkembang masih memberikan ruang untuk eksploitasi perempuan. 

            Ia mengajukan argumen bahwa seksualitas dalam batas tertentu dibatasi oleh nilai pasar konsumen dan produksi massal dari model feminitas seksual. Ia juga beranggapan bahwa aliran ekonomi dan budaya global merupakan kendaraan lain bagi dominasi perempuan.

            Pembahasan dalam bab 6 menyoroti tantangan politik terhadap rezim gender negara. Kathryn berpendapat bahwa Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang hak-hak perempuan dikarenakan ketergantungannya pada pendonor asing yang membutuhkan ‘komitmen terhadap agenda hak asasi internasional sebagai syarat pendanaan’. Ia melihat ratifikasi rezim Orde Baru hanya berfungsi secara simbolis semata. 

              Dalam bab terakhir, Kathryn menguraikan pengamatannya tentang ‘Islam’ yang digunakan atas nama hak-hak perempuan dan dalam penolakannya. Menurutnya, alasan mengapa otonomi daerah berdampak negatif terhadap kesetaraan gender ialah karena elit lokal telah menggunakan kekuatan mereka untuk melanggar hak-hak perempuan. Yaitu dengan menciptakan tradisi, memberlakukan jam malam dan kode-kode pembatasan pada perempuan. Ia menyatakan bahwa tradisi dan aturan tersebut menunjukkan upaya laki-laki untuk mengendalikan perempuan.

            Kathryn dalam penutupnya mengatakan bahwa hubungan gender berada di pusat perjuangan kontemporer atas arah bangsa Indonesia. Dengan begitu, dinamika hubungan gender kontemporer yang terjadi di Indonesia dapat memberikan perspektif lebih lanjut bagi pembacanya. Buku ini akan sangat berharga bagi ilmuwan yang memiliki minat khusus terhadap topik gender, politik dan Islam kontemporer dalam perkembanganya di Indonesia.

 

Comments