Review Film 'The Godfather' (1972), Tak Ada Celah bagi Perempuan

Menjadi tulisan review film pertama di blog ini. Saya mulai dari film yang membuat saya alih-alih terhibur, justru jengkel. Yaitu film The Godfather (1972). Film memang dibuat dengan tujuan menghibur, dengan beragam emosi yang ditularkan melalui audio dan visual yang ditawarkan. Kalau begitu, anggaplah film ini cukup menghibur saya karena membawa rasa jengkel dan jengah setelah saya menontonnya.

Maskulinitas, macho, gentleman

Sebagai perkenalan, The Godfather jauh dari kategori film gagal. Sebaliknya, film ini mendapat banyak penghargaan dan termasuk film yang berpengaruh bagi perkembangan film bertema gangster hingga hari ini. Pada tahun rilisnya, film ini dianugerahi 3 piala Oscar: Best Picture, Best Actor (Marlon Brando), dan Best Adapted Screenplay (Mario Puzo dan Francis Ford Coppola). Juga masuk nominasi dalam 7 kategori lainnya. Kurang hebat apa film ini?

Saya tidak paham teori-teori analisis budaya populer dan teknik perfilman. Tetapi, tulisan ini merupakan hasil pengolahan pikiran dan perasaan saya setelah menonton film The Godfather 1972.

Maskulinitas. Toxic atau enggak, bukan urusan!

Film bergenre drama mafia ini identik dengan maskulinitas dan kekerasan. Sebagaimana kehidupan mafia yang sering digambarkan dalam film, merupakan kehidupan lelaki seutuhnya. Ketua geng sekaligus kepala bisnis keluarga pastilah laki-laki. Biasanya dimulai dari ayah, yang kemudian memberikan tahtanya kepada anak laki-lakinya yang akan melanjutkan urusan-urusan keluarga.

Untuk menjadi geng mafia yang masyhur dan tak terkalahkan, haruslah dimulai dari ikatan keluarga yang solid. Semua anggota keluarga harus menuruti titah sang kepala keluarga atau ketuanya. Sekalipun anak lelaki bungsu yang menjadi ketua, abang-abangnya harus tetap sendiko dawuh. Seperti yang ditampilkan dalam film The Godfather.

Tidak semua orang bisa menjadi mafia. Lantaran anggotanya mesti kudu harus berasal dari golongan sosial kelas atas. Golongan businessman elite yang memiliki jaringan besar, yang umumnya bukan jualan barang receh yang bisa dibeli orang biasa. Pakaian yang dikenakan tokoh seperti jas dan topi itu menunjukkan bahwa mafia berasal dari kelas sosial elite. Yang dekat dengan harta, kesuksesan, kekuatan, status, serta kesejahteraan hidup.

Bicara maskulinitas, kita dapat melihatnya dengan jelas sepanjang film berdurasi 178 menit ini. Maskulinitas yang artinya 'kepriaan', merupakan lawan kata dari feminin. Gagah, kekar, berpikir lebih dengan pikiran logis daripada perasaan. Laki-laki harus bersifat agresif, serta berani mengambil risiko. Berat atau keren? Tetapi, itulah yang dikatakan maskulin.

Kental dengan patriarki

Maskulinitas dekat dengan patriarki. Jadi, tak ayal jika film ini menonjolkan pria dan kepriaan. Yang mana kedudukan pria diletakkan lebih tinggi daripada perempuan. Peran pria dalam segala aspek kehidupan sangat dominan dalam film ini. Semua kegiatan berputar di antara lelaki. Jika pun ada perempuan, sifatnya hanya sebagai pelengkap kehidupan lelaki. Untuk menunjukkan sisi manusiawi mafia, sekaligus menegaskan kekuatan pria terhadap perempuan.

Perempuan tidak mendapat ruang penokohan yang kuat. Apalagi kecerdikan atau sisi-sisi menawannya. Pokoknya, perempuan dalam film ini diteropong dari sudut pandang lelaki. Bahkan, saya melihat kehidupan rumah tangga Connie seolah menyusahkan abang dan adiknya. Kasihan sebenarnya Connie itu, suaminya sangat kasar dan ringan tangan. Geram dan miris melihat scene ketika Connie dipukuli dan disabet oleh suaminya yang sumbu pendek itu.

Perempuan, minggir dulu deh!

Adegan yang membuat saya jengkel sebenarnya tidak terlalu banyak, tetapi ada beberapa. Pertama, ketika Kay Adams, kekasih Michael ditinggalkan tanpa berita apapun. Memang saat itu keadaan di Amerika sedang panas, sehingga Michael harus diamankan dan bersembunyi di Italia. Namun, di tanah sepatu boot itu, Michael menikahi perempuan bernama Apollonia.

Sayangnya, dan seperti yang saya bayangkan, peran Apollonia tidak bermakna besar. Ia tewas dalam mobil yang diletakkan bom di dalamnya. Padahal, sasarannya adalah Michael. Sedih. Tapi kembali lagi, film ini memang bukan film romance, jadi saya tidak mengharapkan mereka hidup mesra penuh asmara.

Ketika keadaan di Amerika mereda, Michael kembali ke keluarganya. Ia menemui dan membujuk Kay agar mau menerimanya lagi. Di adegan itu, saya gregetan. Kay ternyata kembali ke pelukan Michael. Yah, namanya juga film maskulin-patriarki, Kay jadi tokoh yang tunduk dan takluk pada pesona serta kekuatan Michael.

Di adegan menjelang akhir, Kay bertanya apakah benar Michael yang menyuruh anak buahnya membunuh adik iparnya, suami Connie. Michael malah geram dan tidak memberi ruang bagi Kay untuk ikut campur dalam urusan per-mafia-an. Kay hanya menurut dan mengalah. Lalu menawarkan membuatkan minuman untuk Michael. Tapi, tiba-tiba datang sekumpulan pria dengan tergesa-gesa, rekan bisnis Michael. Salah satu dari mereka menutup pintu yang membatasi ruang pribadi Michael dengan (semacam) pantry. Kay memandang pasrah. Huff, greget lagi. Rasanya mencelos hati ini kalau diperlakukan seperti Kay itu.

Karena film ini memang film tentang mafia, saya tidak mempermasalahkan unsur maskulinitas dan patriarki. Tetapi, saya hanya geram melihat perempuan tidak ada harganya. Di negara jauh sana, sekian dasawarsa lalu. Saya tahu film ini bermula dari novel, yang berarti bukan kisah nyata. Namun, membayangkan hidup sebagai perempuan di keluarga mafia tahun 1940-an rasanya mau bilang, "No, thank you".

Pelajaran yang bisa diambil dari film 'The Godfather' 1972

Meski begitu, film ini mengandung banyak pesan moral. Ya, kalau tidak sarat pesan moral masa bisa jadi film terbaik dan dapat piala Oscar?

"Don't go against your family."

Paling utama, sisi kekeluargaan. Keluarga merupakan tonggak pertama yang harus dipastikan tegak dalam bisnis mafia. Semua anggota keluarga harus hormat dan mengikuti keputusan ketua atau kepala keluarga. Kita lihat dalam film The Godfather 1972, semua orang segan dan patuh kepada Don Vito Corleone, bos mafia keluarga Corleone.

Keluarga adalah organisasi terdekat yang perlu dikontrol oleh bos mafia. Urusan bisnis keluarga mafia di atas urusan lainnya. Dalam artian, bisnis yang berurusan dengan keluarga utama mafia, harus didahulukan daripada urusan keluarga pribadi para anggotanya.

Profesionalitas dan pengabdian ditunjukkan oleh Vito dan Michael. Contohnya pada adegan di atas, ketika Michael secara tiba-tiba kedatangan tamu. Padahal pikirannya sedang sedikit tegang karena kematian iparnya. Dan Kay berusaha menenangkannya dengan membuatkan minuman. Namun, semua itu harus ditunda. Michael tetap mengutamakan urusan bisnis keluarganya.

Di samping itu, Don Vito Carleone selalu menerapkan apa yang dikatakannya. Ia memegang teguh janjinya, dan tidak pernah menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ia tunaikan. Ia juga sosok penyayang keluarga. Buktinya, ia masih menyempatkan menemani cucunya bermain sebelum ajalnya tiba. dikatakan tidak pernah menomorduakan keluarganya

Dari film ini, saya melihat adanya kepemimpinan (leadership) dan manajemen organisasi yang baik. Menjadi ketua organisasi yang disegani itu tidak mudah. Tetapi, bukan dengan jalan kekerasan. Membangun wibawa dengan profesionalitas sangat penting, saya kira.

Last but not least, bersikap tenang dan tidak mengambil keputusan ketika sedang emosi. Ini tentu bisa kita, atau saya, terapkan kepada diri sendiri. Sering kali, keputusan yang diambil ketika kepala sedang dilanda kemelut emosi melahirkan penyesalan. Bersikap tenang, tidak grasa-grusu, bisa dipelajari siapapun, tidak hanya ketua organisasi saja.

Cukup rasanya saya menumpahkan gerundelan dalam hati. Saya sangat terbuka dengan segala diskusi dan masukan. Kamu boleh tinggalkan pesan di kolom komentar.

Sampai jumpa di review film selanjutnya!



Comments