Mei dan Seni Teater Yogyakarta 1998 (Flash Fiction, 2019*)

            


Siapa yang tak tahu krisis moneter 1998 di Indonesia? Siapa yang tak tahu peristiwa 21 Mei 1998 ketika Soeharto mengundurkan diri dari posisi Presiden Republik Indonesia? Siapa yang tak tahu peristiwa penembakan dan kerusuhan di kota-kota tahun 1998? Mungkin anak kemarin sore yang tidak belajar sejarah saja yang tidak tahu, sementara orang tuaku masih sangat ingat ketika aku terselamatkan dari kobaran nyala api di rumah sakit pada hari aku dilahirkan. 

            Semua orang menyebutku anak beruntung yang tidak jadi mati pada hari pertama aku menghirup dunia. Kami bukan etnis Tionghoa, tapi saat itu massa di Solo mengamuk dan membakar rumah sakit sejadi-jadinya. Aku mendengar kisah ini diceritakan ulang setidaknya sekali dalam setahun oleh orang tuaku.

Kerusuhan di bulan Mei itu berbeda skalanya di lain tempat. Di yogyakarta misalnya, menurut pengakuan sepupuku, Doni, yang seorang mahasiswa di tahun 1998 itu, di UGM dan kampus-kampus diadakan aksi mahasiswa turun ke gedung rektorat dan ke jalan-jalan di Kota Yogyakarta demi meminta Soeharto turun dari tahtanya. 

Namun, di Yogya itu tidak terdengar bunyi tembakan atau massa yang membabi buta membakar segala rumah dan toko-toko. Katanya, ada Sri Sultan HB X turut bergabung dalam aksi tersebut, yang meminta rakyat untuk tidak menghancurkan properti karena hanya akan berdampak kerugian bagi mereka sendiri. Rakyat menurut, tidak ada toko yang dijarah, apalagi rumah sakit dibakar. Kuasa sekali perkataan Sri Sultan itu!

Menurut cerita tanteku yang bekerja di Jakarta ketika terjadi kerusuhan di Glodok, kekasihnya ikut menjarah toko-toko di kawasan itu. Entah apa niatnya, ia hanya ikut-ikutan ketika massa mengamuk mendobrak pintu, memaksa masuk, kemudian mengambil barang-barang dan makanan sekenanya. 

Tante saat itu takut sekali sehingga tidak berani keluar rumah hampir dua minggu setelah kejadian itu. Kupikir itu wajar saja, setelah Tante mendengar kabar sahabatnya yang bertenis Tionghoa meninggal setelah disetubuhi 8 orang. Jelas itu menimbulkan trauma bagi psikis seorang wanita. Karena khawatir keributan itu berkepanjangan, tante kembali ke Solo pada akhir Juni, meninggalkan toko tempatnya bekerja begitu saja.

Tunggu, kisah 98 ini tidak seburuk itu, dan tidak sama kejadiannya di tiap kota. Contohnya kawan kuliahku, Annisa, dia datang dari Serang, Banten, lahir di tahun dan bulan yang sama denganku, Mei 1998. Tapi keadaan di Kota Serang dan Cilegon yang dia ketahui pada bulan kelahirannya itu tidak mengerikan seperti yang aku alami. 

Ia mengaku tidak pernah mendapat cerita apapun dari kedua orang tuanya mengenai peristiwa itu. Ibunya berada di rumah sakit, dan ayahnya hanya menemani istri yang melahirkan anak pertamanya. Ayahnya bilang, hanya mendengar desas-desus seorang pria yang ingin meloncat dari bangunan Ramayana bertingkat tiga. Tapi apa peduli ayahnya, ia tidak berusaha mencari tahu. Yang orang tua nya Annisa ketahui, harga bahan pangan melonjak, orang-orang menyalahkan Soeharto, dan mendengar pengunduran Soeharto dari radio. 

Orang tua Annisa bukan orang Banten asli, mereka pendatang di tahun 1997, ayahnya dari Kulon Progo, sementara ibunya dari Sumedang. Mungkin itu yang menyebabkan Annisa tidak mendapat kabar mengerikan di tahun 1998, atau karena daerahnya yang cenderung aman, dibandingkan Solo, Yogyakarta dan Jakarta yang lebih multikultur? Entahlah.

Sebenarnya aku ingin menceritakan festival seni kesukaanku, Festival Kesenian Yogyakarta di tahun 1998. Aku berkuliah di salah satu universitas negeri yang katanya kampus kerakyatan. Terserah apa kata orang, yang jelas, selama 4 tahun tinggal di Yogya, aku tak pernah melewatkan pawai budaya dan pertunjukkan teater dan drama yang diselenggarakan FKY di kisaran Juli-Agustus setiap tahunnya.

Pasalnya, setelah Soeharto lengser, pers menjadi jauh lebih merdeka, orang-orang bebas menyuarakan pandangannya, pun dengan kelompok kesenian bisa leluasa mengekspresikan idenya tanpa takut dibredel atau ditangkap pihak berwajib. 

Pada awal Juli 1998, ada penampilan perkusi “Kompi Susu” yang diprakarsai Djaduk Ferianto. Pemusiknya menggunakan kostum seragam mirip petugas pengendali massa, memakai helm, rompi, dan tameng anti huru-hara. Pasukan ini tidak bersepatu, tetapi berkaus kaki sepak bola warna oranye, bercelana pendek dan sandal bakiak kayu yang menjadi irama dalam musiknya. Tidak hanya itu, setiap pemain membawa senapan kecil. Sedangkan pemain keyboard mengenakan penutup kepala hitam sehingga hanya matanya saja yang terlihat – ini menggambarkan seorang penembak jitu atau pasukan anti teroris.

Pagelaran dibuka dengan lengkingan sirene sembari mengantarkan pasukan “Kompi Susu” masuk ke panggung dengan menyuarakan bakiak kayunya secara serempak, seolah pasukan tentara sungguhan. Penonton diberikan suasana haru sepanjang April dan Mei di tahun itu, kemudian para pemain membawakan suasana rusuh, namun parodi ini justru membuat gelak tawa. 

Parodi ini dilengkapi dengan monolog “Lidah (Masih) Pingsan” karya Butet Kertaredjasa, yang menceritakan tokoh wartawan yang berusaha menungkap hilangnya seorang anak. Wartawan tersebut berhadapan dengan Lurah Sepuh dan Lurah Baru yang sama-sama memiliki kuasa, tapi tidak memberikan penyelesaian. Mengenai pers, kata Butet, tidak perlu dibredel karena akan mati sendiri jika harga kertas terus melonjak. 

Cerdas sekali Butet! Memang benar, harga kertas 1 rim di sebelum terjadi rusuh, berkisar Rp7.000, yang kemudian melompat mencapai Rp35.000 setelah terjadi krisis. Hm, pantas saja Doni bilang mahasiswa merasa dirugikan.

Yogyakarta sebagai gudang bagi seniman dan perajin menjadi sangat menarik pada bulan-bulan festival ini. Barang-barang kesenian yang dijajakan di FKY dinilai berseni sangat tinggi oleh kalangan yang mengerti seni, dan bernilai jual baik, tidak terlalu murah dan tidak terlalu mahal. Para perajin kayu dari luar daerah Yogyakarta boleh mengikuti pasar seni ini untuk memamerkan keahliannya. Pengunjung pasar seni datang dari berbagai kalangan, dari penduduk awam, mahasiswa, seniman, akademisi, hingga turis.

Seksi Teater FKY X memberi kebebasan bagi para penampil untuk menentukan tema pergelaran. Hal ini ditujukan supaya lebih beragam tema yang dihadirkan, menambah keragaman interpretasi dan penghayatan para penikmatnya. Pengisi di tahun itu ada Gabungan Aktor Pantomim (GAPY), Teater Eska (UIN Sunan Kalijaga), Bingtang Mataram, Serikat Teater Yogyakarta, Teater Garasi, dan Teater ISI Yogyakarta. 

GAPY dikisahkan menampilkan repertoar Wajah Malioboro yang menyajikan nuansa Malioboro dengan jiwa Yogyakarta dalam kebudayaan Indonesia. Teater Eska menampilkan lakon Berdiri di Tengah Hujan (Sihir Mata Hitam II) karya Hamdy Salad sang sutradara. Ini adalah tahun ketiga bagi Teater Eska unjuk diri di FKY.

Bintang Mataram menampilkan lakon Pelabuhan karya Abdul Hadi WM yang disutradarai oleh Masroom Bara. Lakon ini bercerita tentang kehidupan di pelabuhan, yang diartikan sebagai rumah atau tempat berkumpul manusia yang menimbulkan dua kemungkinan. Yaitu manusia dan peradaban yang mempengaruhi lingkungan pelabuhan atau sebaliknya. Sementara Serikat Teater Yogyakarta membawakan lakon Megatruh Sungai Gangga karya Whani Darmawan. Dan terakhir, Tater Garasi memnajikan Ari-ari atawa Interogasi 2, yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin.

Sebagai penikmat seni teater yang tidak terlalu memahami unsur estetis dan harmoninya, aku sangat takjub dengan keramaian FKY X tahun 1998 berdasarkan kisah dan penuturan orang-orang yang menontonnya. Menurutku, tahun 1998 itu FKY sangat berani memberikan kebebasan bagi para penampilnya. Mereka tidak takut lagi pada pemerintah yang sebelumnya membredel ini, melarang itu dsb. Kebebasan ini kulihat sebagai ekspresi diri merdeka rakyat Yogyakarta terutama bagi penikmat kesenian. Sehingga FKY tahun itu patut diapresiasi sebagai wajah sumringah kesenian Yogyakarta.

Pergelaran Teater FKY tahun itu ditutup oleh penampilan dari Teater ISI Yogyakarta yang selalu membuat decak kagum penonton. Ia menyajikan  Perbincangan Tengah Malam yang merupakan karya sutradaranya yaitu Edi Suisno.

 

*Tulisan ini dibuat April 2019

Comments