Anak laki-laki sedang belajar di rumah (unsplash.com)
Alkisah,
seorang anak laki-laki sedang belajar Matematika bersama ibundanya di rumah. Ia
tersenyum, sembari tangannya terus menulis angka-angka, “Bu, rasanya aku lebih
mudah paham diajar oleh Ibu, daripada diajar guru di sekolah.”
Ibunda
tersenyum bangga dan haru. Si Bungsu, sekarang duduk di kelas 7, sekolah
berasrama berjarak enam puluh kilometer dari rumah. Hanya satu dari empat
anaknya yang bisa pulang ke rumah bulan ini. Tiga anaknya berada di luar kota,
mengenyam pendidikan berbeda.
Pada
hari-hari biasanya, ia hanya tinggal berdua bersama suaminya. Maka pagi itu
terasa oleh Sang Ibunda begitu sejuk dengan ucapan Si Bungsu. Hatinya dipenuhi
bunga-bunga akibat disinari pujian kecil dan disirami kerinduan seorang ibu
terhadap anak-anaknya.
Pagi
itu, Ibunda sedang tidak ada jadwal mengajar, maka ia duduk berhadapan dengan
anak kandungnya. Setiap hari Ibunda mengajar di sekolah kejuruan, berhadapan
dengan ratusan murid. Mengajar bukan hal baru baginya, tapi hari itu ada
sensasi asing menyelinap dalam hatinya. Selama ini ia merasa jauh dengan
anak-anaknya, baru menyadari jarang membuat momen mengajari anak kandungnya
dengan perhatian penuh seperti pagi itu.
Tiap
hari ia disibukkan dengan kegiatan di sekolah, sore istirahat, malam untuk
mengoreksi dan menyiapkan pelajaran esok hari. Begitu terus hingga keadaan
berubah, WHO menyatakan Covid-19
sebagai pandemi, pemerintah setempat mengambil kebijakan Physical Distancing.
Sebagai
respon atas kondisi yang tidak lagi aman, pengajaran di sekolah-sekolah
dialihkan dalam bentuk daring. Kesibukan berganti, perhatian tergeser. Beberapa
anggota keluarga yang beruntung bisa kembali ke rumah untuk berlindung, lainnya
tetap di perantauan menunggu keadaan kondusif untuk pulang.
Bagi
Sang Ibunda, keadaan ini menguntungkan karena ia bisa berkumpul lebih lama
bersama keluarga, memanjakan lidah suami dan anaknya dengan masakannya setiap
hari, dan lebih memperhatikan kegiatan belajar anaknya. Sementara bagi Si
Bungsu, meskipun ia tidak mendapat pengajaran yang intensif dari gurunya, ia
bisa lebih fokus mencerna pelajaran privat di rumah bersama Sang Ibunda. Ia
juga lebih mudah menghafal tugas hafalannya sendiri, tanpa teman-teman di
asrama yang terkadang mengganggu.
Tidak
bisa disamaratakan, setiap orang tentu mengalami kejadian dan perasaan berbeda.
Kisah di atas hanya secuil dari impresi jutaan pekerjaan dan kegiatan belajar
yang dilakukan dari rumah. Idealnya, kita harus bisa hidup berimbang dan waras
di tengah peperangan sunyi ini. Mendahulukan akal sehat, mengesampingkan ego
dan nafsu.
Jaga Akal Sehat
Siaran
televisi dan berita daring mempertontonkan statistik yang kian menanjak. Belum
ada tanda-tanda kita akan mencapai puncak dan siap turun. Dalam kurun waktu dua
bulan, telah gugur sekitar tujuh ratus saudara sebangsa dalam perang melawan
Covid-19. Sementara enam ribu lainnya masih berjuang, melantunkan doa dan
mengharap keajaiban.
Tenaga
medis berada di medan terdepan, berusaha mencari penangkal patogen sekaligus
merawat para pasien yang terjangkit Covid-19. Sistem kesehatan kita memang
seharusnya berkembang lebih cepat daripada evolusi patogen. Sistem kesehatan
kita haruslah berstandar ganda, menemukan senjata untuk membasmi patogen kini
sembari menyiapkan senjata baru untuk menghadapi pandemi di masa mendatang.
Catatan
sejarah dan statistik hadir sebagai bukti betapa mengerikannya
penyakit-penyakit menular. Manusia seolah tak berdaya, bersembunyi dari
angka-angka yang terus melonjak. Namun terpaku pada angka bukan hal yang bijak.
Keadaan tak tentu ini harus disiasati dengan santai, janganlah kita tenggelam
dalam statistik.
Waktu
memberi kita kesempatan untuk berolahraga, meremajakan fisik dengan
gerakan-gerakan ringan di rumah. Dunia memberi kita kesempatan untuk
memperbaiki kebiasaan baik yang terlewatkan. Duduklah, bacalah buku. Buya Hamka
menyarankan kita memberi makan rohani dengan membaca buku yang baik.
Pecinta
buku seperti Mohammad Hatta jika berada dalam situasi harus berdiam di rumah,
ia pasti akan menceburkan diri dalam lembaran-lembaran buku. Walt Disney
menghidupkan imajinasi dari buku-buku yang dilihatnya lebih berharga daripada
kotak berisi harta karun.
Selama ada
manusia, maka buku tidak akan punah. Mengutip Riduan Situmorang dalam
tulisannya berjudul Hikayat Belajar, selama
ini kita lupa bahwa belajar tidak sama dengan pembelajaran. Semenjak ada sistem
bernama sekolah, praktik belajar dibuat sepenggal-sepenggal. Padalah pembelajaran
bisa hadir kapanpun dan di manapun, bahkan dalam keadaan tertekan sekalipun.
Kita hanya
mempelajari apa yang tercantum di buku sekolah, di silabus perkuliahan. Bung
Karno pernah mengimbau “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi
berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya!”. Inilah yang harus kita
Pandemi ini
memberikan pelajaran bagi kita, jika kita mau membuka hati dan pikiran.
Pembelajaran tidak selalu dalam bentuk membaca atau menghitung. Kita bisa
merefleksikan keadaan dengan melatih perasaan. Membaca buku-buku sastra tentu
membuka cakrawala kita.
Selain buku, kita
bisa mempelajari keterampilan atau keahlian lain. Bahasa asing menjadi hal yang
penting di dunia global ini. Kemampuan bermain alat musik atau mendesain juga
sebaiknya kita tekuni untuk memperkaya diri di tengah pandemi. Sehingga ketika
pandemi berakhir, kita bisa come back dengan
segudang pembelajaran baru.
Kemanusiaan
Sudah
lewat satu bulan sejak imbauan Rektorat dan Dekanat 16 Maret lalu untuk
mengadakan kegiatan belajar mengajar secara daring. Pada awal kedatangan
Covid-19 di Indonesia, pemerintah menyambut gembira dengan memberikan paket
liburan ke Bali. Kementrian pun dengan menyambut dengan caranya masing, mencoba
mengurangi kekhawatiran rakyat.
Kebijakan
menutup tempat pertemuan diikuti oleh lembaga pendidikan di tanah air. Menyusul
tempat wisata, tempat hiburan dan tempat peribadatan. Ketakutan telah menjadi
satu dengan udara, terhirup bebas tanpa bisa diantisipasi. Beberapa terkena
serangan panik memberondong masker dan makanan untuk ditimbun di kediaman.
Sebagian kecil tidak kebagian merasakan dimensi panik, toh masih ada tempat sampah dan tangan-tangan malaikat untuk
menyambung nyawa.
Hari-hari
berlalu dengan menatap layar kaku, menyapa wajah-wajah semu, menguntai senyum
hampa. Semua berjarak, demi keamanan bersama. Pertemuan dua dimensi harus
dirasa cukup, zaman sedang tak mengizinkan pertemuan fisik. Bagi kalangan
tertentu, interaksi sosial berlangsung dalam batasan ruang. Tapi tidak berlaku
bagi kalangan kecil yang hanya hidup mengandalkan aktivitas fisik.
Ruang-ruang
industri dan perdagangan mengerut, kehilangan gairah dan pelanggan. Yang
berlindung di dalam rumah, harap-harap cemas melihat statistik pasien Covid-19
berbanding terbalik dengan indeks harga saham. Kecuali ojek online, kurir
antar, pengemis, pemulung, tukang koran, tukang sampah, dan tukang becak yang
menguasai jalanan. Mereka tak mengerti angka-angka itu dan bukannya menentang
bahaya Covid-19, mereka hanya takut menderita kelaparan terus-menerus.
Setiap insan melakukan aktivitas sesuai peran masing-masing, berjuang dengan cara dan kemampuannya yang khas. Tidak ada Si Benar dan Si Salah di tengah peperangan melawan pandemi. Atas nama kemanusiaan, sepantasnya yang kuat membantu yang lemah, yang berkecukupan menolong yang kekurangan. Atas nama kemanusiaan, kita semua harus saling menjaga dan mendoakan.
*Tulisan ini dibuat 25/04/2020
Comments
Post a Comment