Covid-19 (unsplash.com) |
Kejutan
apa lagi yang akan datang di bulan Mei? Juni? Agustus? Dibuka dengan kabar
virus menular di Wuhan, banjir besar di sejumlah kota Indonesia, wacana Perang
Dunia Ketiga, kebakaran di Australia, tahun 2020 – yang baru berjalan tiga
bulan ini – telah dicap sebagai dasawarsa paling menjengkelkan. Para aktivis
dan pekerja juga dibuat resah dengan RUU Cilaka yang kontroversial itu.
Memasuki
bulan keempat semakin banyak saja keluhan dan ungkapan ketakutan dari mulut dan
jari di sekitar kita. Bagaimana tidak, jika Sang Penguasa sengaja tidak memberi
perhatian khusus pada potensi penyebaran virus dalam negeri dan malah menggelar dagangan pariwisata. Para
aktivis dan pemerhati politik mengomel dan memprotes tindakan-tindakan “out of the box” dari Sang Penguasa dan
jajarannya.
Omelan
dan protes serupa di media sosial hadir dalam bentuk humor satir, sehingga
tidak perlu membuat kita bersusah hati. Untuk apa menambah gundah di tengah
kondisi menakutkan ini, jika bisa dihadapi dengan tawa? Menertawakan betapa lucunya kehidupan rakyat +62 dan jajaran
pemerintahannya di tahun Tikus Logam 2020.
Nenek Moyang Covid-19 Coronavirus
Hampir
dua bulan kita hidup dalam bayangan ketakutan akan penyakit menular Covid-19
coronavirus. Sebagaimana virus-virus lain, ilmuwan menjelaskan bahwa
coronavirus menyebar melalui tetesan kecil batuk dan bersin. Tetes-tetes kecil
dari cairan hidung (mucus) atau air
liur (saliva) dapat bertebaran di
udara kemudian jatuh ke benda-benda di tempat umum.
Pengetahuan
tentang rantai penyebaran virus ini telah kita pahami serentak, bahkan bisa
membuat parno. Maka esai ini tidak
akan menjelaskan etika bersin dan batuk, anjuran menggunakan masker bagi orang
yang sedang flu, atau gejala-gejala orang mengidap Covid-19. Dilandasi
kepanikan, imbauan-imbauan tersebut telah menimbulkan kelangkaan masker bagi
keperluan kalangan medis. Beberapa orang mata
duitan malah berlomba-lomba menjual masker medis dengan harga melambung. Tulisan
ini tidak akan mengajari keterampilan hemat membuat antiseptik, handsanitizer dan masker sendiri.
Manusia
mengalami evolusi – jika Anda percaya teori Darwin, begitupun virus. Penemuan
suatu vaksin di waktu lampau mungkin tidak akan terlalu efektif membunuh virus
hari ini. Jeda waktu yang lama memberikan kesempatan bagi virus untuk
beradaptasi dengan vaksin. Virus dengan keahliannya mampu memperbaharui kandungan
protein dalam tubuhnya, membenahi persenjataan untuk melawan vaksin dan
antivirus. Akibat evolusi, gejala penyakit yang ditimbulkan virus menjadi
berbeda dengan sebelumnya.
Virus
Corona misalnya, pertama kali ditemukan pada 1937 menyerang bagian pernapasan
unggas. Setelah penelitian lebih lanjut, ternyata diketahui bahwa virus Corona
dapat menginfeksi tikus, kalkun, anjing, kucing, kuda, babi, dan hewan ternak. CDC Amerika Serikat mengatakan bahwa
virus Corona (CoV) yang menyerang manusia baru ditemukan pada tahun 1960-an.
SARS
(Severe Acute Respiratory Syndrome)
yang ditemukan tahun 2003 diperkirakan ditularkan oleh musang ke manusia. Gejalanya
berupa gangguan pernapasan akut, diidentifikasi pertama kali di Guangdong.
Virus ini menjadi wabah, menelan korban sekitar sembilan persen dari total
pasien yang terjangkit SARS.
Sepuluh
tahun kemudian, Arab Saudi dihebohkan dengan kedatangan penyakit serupa.
Patogennya disebut MERS-CoV (Middle East
Respiratory Syndrome-Corona Virus). Menurut WHO, penyakit ini berinang pada unta dromedaris yang kemudian
menularkan ke manusia.
Seolah
tidak ingin dilupakan zaman, virus Corona hadir dengan varian baru pada akhir
2019 di Wuhan. Diberi nama 2019-nCoV atau Covid-19, ia diyakini ditularkan ke
manusia oleh ular dan kelelawar. Kali ini, 2019-nCoV menyerang dengan serangan
lebih mematikan dalam jangkauan lebih luas daripada virus-virus pendahulunya.
Wabah dalam Sejarah
Selama
berabad-abad, tidak ada peradaban manusia yang siap menghadapi wabah. Lihatlah
Bizantium abad ke-6 di bawah pimpinan Justinianus. Patogen berasal dari tikus
yang membawa kutu terinfeksi. Kekaisaran yang besar itu tak kuasa melindungi
rakyat dari ganasnya wabah. Aktivitas pertanian dan perdagangan terhenti hingga
melemahkan imperium. Wabah tersebut menghabisi tiga puluh juta hingga lima
puluh juta jiwa dengan sadis, yang diperkirakan separuh dari total populasi
Bizantium.
Wabah
penyakit datang lagi pada akhir abad pertengahan Eropa. Black death menewaskan hingga dua ratus juta orang pada pertengahan
abad ke-14. Patogen diperkirakan berasal dari kutu yang dibawa tikus hitam,
seperti pada wabah Justinian. Tikus-tikus tersebut berasal dari kapal dagang
yang telah berkeliling dunia. Menyerang sistem pernapasan dan penglihatan,
patogen ini menyebabkan penurunan populasi dalam jumlah besar. Dari sisi
ekonomi, wabah ini menimbulkan kenaikan upah karena kurangnya persediaan tenaga
kerja.
Lain
lagi halnya dengan wabah cacar yang berdampak besar bagi sejarah Amerika dan
Eropa. Cacar pertama kali muncul di Amerika tahun 1492, berujung mengundang
penjajahan.Penyakit ini tercatat telah menewaskan korban hingga dua puluh lima
juta orang. Ilmuwan memperkirakan angka tersebut mencapai sembilan puluh persen
populasi Amerika saat itu.
Menurunnya
populasi Amerika sejajar dengan penurunan ketersediaan budak. Dampaknya, praktik
perbudakan menurun. Berkurangnya populasi pribumi Amerika, dilihat
bangsa-bangsa Eropa sebagai peluang untuk menduduki dan mengembangkan
daerah-daerah baru yang telah dikosongkan akibat wabah.
Menurut
BBC, vaksin cacar pertama kali di
dunia ditemukan pada 1796. Meski demikian, virus dapat berevolusi dan menjadi lebih
kebal dari versi pertama kemunculannya. Seiring perkembangan zaman, perpindahan
barang dan manusia terjadi dalam skala lebih besar, tak terhindarkan terjadi
perpindahan virus.
Setelah
dua abad berlalu, grafik kematian akibat cacar tetap melambung. Dilaporkan
cacar membunuh lebih dari tiga ratus juta orang di seluruh dunia pada abad
ke-20. Bukan main. Ternyata kita tidak bisa merasa cukup dengan satu vaksin,
sebab virus dapat lebih cerdas. Sepatutnya kita terus meng-update dan meng-upgrade vaksin,
jangan sampai kalah cepat dari Sang Virus.
Sejarah
mengatakan, pandemi paling mematikan ialah Flu 1918. Penyakit ini muncul dalam
skala besar pertama kali di Spanyol, mengundang puluhan juta malaikat Izroil turun
ke bumi. Jika dibuat rasio, satu dari tiga orang di planet ini terinfeksi Flu
1918. Angka kematiannya berada di atas angka kematian akibat Perang Dunia I,
yaitu sekitar lima puluh juta hingga seratus juta orang dalam kurun waktu dua
tahun.
Di
Amerika, pandemi ini menjatuhkan tingkat harapan hidup menjadi tiga puluh
sembilan tahun dari lima puluh satu tahun pada 1917. Anak-anak menjadi yatim
dan piatu, kehilangan tulang punggung keluarga. Sementara orang-orang renta tak
dapat berbuat banyak ketika ditinggalkan keluarga yang biasa merawatnya.
Penyakit ini menelan korban lebih banyak di negara berkembang, menyasar
masyarakat miskin dan malnutrisi yang tinggal di pemukiman kumuh, penuh sesak
dengan sanitasi buruk.
Pelajaran dari Covid-19
Patogen
menjadi pembunuh massa paling efektif karena kemampuannya mereplikasi diri
dalam waktu singkat. Selongsong peluru dalam peperangan bahkan tidak lebih
berbahaya daripada patogen, ia harus tepat mengenai target untuk dapat
membunuh. Patogen juga dapat menyebar cepat dalam skala global, lebih berbahaya
dibandingkan dampak bencana alam yang hanya dirasakan di wilayah tertentu.
Ancaman
penyakit dalam periode tertentu dapat menurunkan angka harapan hidup global. Pada
akhir abad ke-19, harapan hidup hanya berada di angka 29 tahun. Manusia
bukannya tidak dapat bertahan hidup lebih dari itu, melainkan terlalu banyak ancaman
kematian disebabkan penyakit.
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terbentuklah kota-kota
modern. Merekalah yang berhasil memenangkan tantangan penurunan populasi akibat
penyakit. Pembaharuan sistem kesehatan, pengembangan sanitasi, serta pembuatan
vaksin dan antibiotiklah jalannya.
Kabar
baiknya, setelah vaksin-vaksin ditemukan, terjadi penurunan drastis angka kematian
akibat penyakit menular. Di Amerika pada awal abad ke-20, kasus ini menjangkiti
delapan ratus dari seratus ribu orang. Hingga akhir abad, angka tersebut terjun
ke angka enam puluh dari seratus ribu orang.
Covid-19
mengingatkan kita bahwa penyakit-penyakit menular belum hilang atau tidak akan
pernah. Selalu ada penyakit-penyakit menular baru ketika penyakit sebelumnya
dapat teratasi dengan vaksin. Menjadi tugas para ilmuwan dan tenaga kesehatan
untuk terus menjaga gawang kemanusiaan dari serangan patogen. Memang berat.
Lalu
apa tugas kita? Sebagai orang awam, sudah sepatutnya kita memperhatikan imbauan
dari tenaga kesehatan. Menjaga jarak aman dan mengikuti prosedur membersihkan
tangan adalah bagian dari iman kita kepada tenaga kesehatan.
Sebagai
makhluk ciptaan Tuhan – jika Anda percaya Tuhan, kita tidak berdaya. Maka, hendaknya
kita tidak menyombongkan diri dengan mengikuti kerumunan di tengah pandemi yang
merajalela ini – sekalipun dengan alasan keagamaan. Mawas diri dan sabar
menjadi kunci utama membentengi diri. Tenang saja, nanti kita bisa ngopi lagi setelah pandemi ini teratasi.
Untuk apa kita mengurung
diri di rumah, padahal teknologi semakin canggih dan vaksin akan segera
ditemukan? Pertanyaan itu menyiratkan kesombongan
diri. jangan lupa, selama lima puluh tahun terakhir, populasi dunia telah
bertambah dua kali lipat. Peningkatan kuantitas tersebut berarti peningkatan
kemungkinan lebih banyak orang yang akan saling menginfeksi, terutama di
kota-kota besar yang padat penduduk. Nah, lho!
Wahai
manusia, makhluk yang diciptakan dalam keadaan paling sempurna! Wahai manusia
di zaman instan, jangan gegabah dan salah mengambil sikap!
Dari
sisi lain, sebagian dari kita melakukan kebiasaan baru yang tak pernah kita
lakukan di hari-hari sibuk sebelum datang pandemi. Ternyata ada banyak hal yang
sering kita lewatkan. Belakangan ini kita semakin akrab bersapa dengan tetangga
depan rumah, mengobrol dan bercerita dengan tetangga indekos. Kita punya lebih
banyak waktu untuk membenahi halaman belakang rumah yang penuh sarang nyamuk,
membersihkan dan merapikan perabotan di rumah yang penuh debu.
Beberapa
dari kita dapat mengenali diri lebih dalam, menemukan gairah dalam bentuk karya
dan ide. Kita punya waktu untuk meditasi dan berolahraga di rumah, memanjakan
lidah anggota keluarga dengan mahakarya kita di dapur. Anak indekos tiba-tiba
punya dorongan untuk belanja bahan makanan dan mulai memasak setiap hari.
Beberapa
lainnya dianugerahi inspirasi untuk menyelesaikan naskah artikel, cerpen,
skripsi, atau konten YouTube. Sebagian lagi dengan tekun mempelajari
keterampilan dan keahlian untuk meningkatkan kualitas diri. Maka, nikmatilah
masa-masa penuh keintiman dengan diri sendiri.
*Tulisan ini dibuat tgl 25/04/2020
Comments
Post a Comment